Rahman Dako

BANJIR & MASA DEPAN GORONTALO

Oleh: Rahman Dako*

Sumber: http://groups.yahoo.com/group/gorontalomaju2020/

Tulisan ini merespon banyak Short Message Services (SMS) yang saya terima dari teman-teman di Gorontalo yang saya kirimi ucapan Selamat Idul Adha. “Minal Aidin Wal Faidzin, Kota Gorontalo banjir basar dari hari senin sampe skrg, di rmhku kampung Bakia kedlman air 1 – 1,2 m. Banjir kali ini lbh parah dari thn2 lalu.” Begitu bunyi dari salah satu SMS yang saya terima. Sedih rasanya membaca semua SMS yang bernada serupa dari Gorontalo. Bukannya mendapatkan balasan suka cita di hari yang penuh kemenangan ini, tetapi mendapatkan pesan yang memiriskan hati.

Banjir di Gorontalo bukan fenomena yang asing lagi. Setidaknya dalam 15 tahun terakhir, banjir di Gorontalo menjadi masalah utama yang selalu menelan korban jiwa dan harta benda. Secara geografis dan historis, Gorontalo memang merupakan daerah ’banjir’ dimana setiap 15 atau 20 tahun sekali, banjir besar datang melanda Gorontalo. Akan tetapi bila banjir datang setiap tahun, maka ada hal yang keliru dalam perlakuan manusia di Gorontalo terhadap alam yang ditempatinya. Tahun ini saja, tercatat 3 kali kejadian banjir sebagaimana diberitakan oleh media massa di Gorontalo.

Mitigasi banjir yang maksimal tidak pernah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Ini menunjukkan pemerintah tidak tanggap dan gagal melakukan pembangunan berwawasan lingkungan di Gorontalo. Paradigma pembangunan yang dimiliki pemerintah mulai dari tingkat Gubernur, Bupati dan Walikota sampai di tingkat kepala-kepala dusun di Gorontalo pada umumnya masih mengedepankan pertumbuhan ekonomi sebagai mainstream tanpa melihat dan mempertimbangkan faktor geografis, lingkungan hidup dan masyarakat banyak.

Ada 2 faktor utama yang menjadi penyebab banjir di Gorontalo. Pertama adalah curah hujan yang relatif tinggi, serta yang kedua adalah kerusakan alam yang parah daerah-daerah hulu sungai ditambah dengan berkurangnya daerah penampung dan resapan air di daerah hilir. Faktor pertama, bisa disebabkan oleh perubahan iklim dimana intensitas hujan yang semakin tinggi sehingga tidak bisa ditampung oleh sungai-sungai dan danau di Gorontalo. Faktor kedua, berkaitan erat dengan kondisi lokal dan pengelolaan hutan di Gorontalo sendiri. Faktor pertama bisa juga disebabkan oleh alam dan manusia, akan tetapi faktor kedua lebih disebabkan oleh “orang Gorontalo” sendiri. Faktor pertama masih bisa diperkecil dampaknya bila faktor pertama bisa diatasi.

Penyebab utama faktor kedua adalah kesalahan pemerintahan di masa lalu yang telah dengan tega mengeksploitasi sumberdaya hutan Gorontalo. Tapi ini juga tidak terlepas dari kesalahan pemerintahan saat ini yang telah melakukan pembiaran keberlanjutan eksploitasi tersebut. Dua periode kepemimpinan Fadel Muhammad belum menunjukkan adanya tanda-tanda perbaikan yang berarti dan sungguh-sungguh dalam pengelolaan hutan yang lebih baik. Yang paling sering terdengar hanyalah lip services di media masa mengenai penanaman pohon, penghargaan dari mana-mana, tetapi alam berkata bahwa itu hanyalah isapan jempol belaka. Gerakan penanaman pohon (misalnya GERHAN), tidak dibarengi oleh semangat yang sungguh-sungguh untuk menghentikan ekploitasi kayu ilegal maupun yang dilegalkan secara hukum formal. Sejak jaman kolonial, gerakan penanaman pohon sudah dilakukan, tetapi itu juga diikuti dengan eksploitasi kayu yang melebihi kemampuan alam untuk memperbaikinya. Kita tidak bisa menghitung lagi berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk menanam pohon di Gorontalo, tapi hasilnya bisa kita buktikan sendiri.

Pemerintah tidak pernah menghitung berapa sisa hutan yang masih bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lokal dan berapa lagi yang sudah tidak bisa disentuh sama sekali. Masih terbayang bagaimana sekitar 5 tahun lalu Pemerintah Kabupaten Gorontalo dengan bangga meresmikan beroperasinya PT. Korean Shon Choi Jaya yang mengekpor kayu illegal ke luar negeri. Lewat Perusahaan Daerah PEDAGO, perusahaan ini diuntungkan dengan mengumpulkan kayu-kayu illegal dari seantero Gorontalo. JAPESDA pada waktu itu menentang dengan keras kebijakan tersebut, tetapi baik pemerintah Kabupaten dan Provinsi mengabaikannya.

Masa depan Gorontalo hanya bisa ditentukan oleh paradigma pembangunannya saat ini. Paradigma pembangunanisme instant gaya Fadel Mohammad harus dirubah, setidaknya memberi porsi yang seimbang bagi lingkungan hidup sebagai modal dasar masa depan Gorontalo. Beberapa inovasi Fadel lebih banyak memiliki daya rusak lingkungan ketimbang memberi nafas bagi hutan dan daya dukung lahan, misalnya upaya-upaya membiarkan masuknya perusahaan tambang emas di wilayah hutan termasuk di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone; masuknya perkebunan kelapa sawit di areal hutan alam; dan lain-lain.

Keuntungan dengan pembangunan berbasis lingkungan tidak secepat pembangunan yang mengedepankan eksploitasi sumberdaya alam. Akan tetapi, hitunglah berapa kerugian masyarakat Gorontalo setiap kali banjir datang. Kerugiannya akan berpuluh kali lipat dari keuntungan pembangunan instant yang juga hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha dan politikus oportunis.

Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk memperbaiki Gorontalo adalah melakukan moratorium logging dan menerapkan bioregional approach. Konsep ini sudah ditawarkan penulis sejak 5 tahun lalu dan seharusnya sudah harus dimulai saat ini. Konversi hutan dan lahan perkebunan besar (kelapa sawit misalnya), HPH dan HTI sudah harus dihentikan. Pemerintah harus menghitung berapa besar kebutuhan kayu lokal dan potensi hutan yang masih tersisa. Pengambilan kayu hanya dibolehkan untuk kebutuhan kayu lokal dan dilarang diantarpulaukan, apalagi diekspor. Setelah 5 – 7 tahun kedepan, secara bertahap industri kehutanan harus bisa memenuhi kebutuhan kayunya dari hasil-hasil kayu yang mereka tanam sendiri. Konsep Hutan Tanaman Industri (HTI) selama ini tidak pernah berhasil karena pemerintah membiarkan para pengusaha memenuhi kebutuhan kayunya dari hasil menjarah hutan alam tanpa memaksa mereka untuk betul-betul menanam. Para illegal logger yang selama ini hidup dari hasil mengambil kayu di hutan seharusnya diajak untuk bertani yang baik, sembari membuktikan bahwa program agropolitan jagung yang digembar-gemborkan selama ini memang benar-benar berhasil dan menguntungkan rakyat. Pemerintah Provinsi juga harus berani ’menentang’ pemerintah pusat bila itu benar-benar malah mengekploitasi sumberdaya hutan Gorontalo, misalnya dengan menghentikan operasi 3 perusahaan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang sampai sekarang masih beroperasi.

Bioregional approach (pendekatan bioregional) lebih tepat untuk diterapkan di Gorontalo. Pendekatan ini adalah pendekatan yang melihat komunitas manusia dan ekosistem sebagai sesuatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, tanpa melihat batas-batas politik dan administratif negara. Wilayah Gorontalo dan masyarakatnya seharusnya dilihat sebagai sebuah kesatuan ekosistem, sosial dan budaya yang utuh dan saling tergantung satu sama lain, tidak dipisah-pisah secara administratif kabupaten/kota. Misalnya, masyarakat dan Pemerintah Bone Bolango dan Kabupaten Gorontalo akan sangat tergantung pada roda perekonomian di Kota Gorontalo. Sebaliknya, masyarakat dan Pemerintah Kota Gorontalo juga sangat tergantung pada sumber air dari hutan-hutan yang ada di Bone Bolango dan Gorontalo. Kalau hutan di dua kabupaten ini rusak, maka yang menerima dampaknya adalah masyarakat Kota Gorontalo. Sungai Bolango, Bone, bermuara ke Kota Gorontalo, begitu juga sungai Alo-Pohu yang bermuara di danau Limboto, sangat terkait erat dengan pembangunan di Kota Gorontalo.

Melihat kondisi ini, siapapun pemimpin Gorontalo kedepan, baik itu Bupati, Walikota maupun Gubernur, seharusnya adalah pemimpin yang memiliki paradigma pembangunan yang berwawasan lingkungan yang mampu melihat Gorontalo sebagai suatu kesatuan yang utuh. Pemimpin-pemimpin ini kedepan harusnya bisa bekerjasama memitigasi bencana banjir dengan melakukan upaya-upaya penghutanan kembali serta memastikan setiap langkah pengeloaan hutan lebih menguntungkan rakyat ketimbang pengusaha-pengusaha kayu. Mereka harus menjadi pelopor gerakan penanaman kembali hutan-hutan Gorontalo, tanpa harus menungggu dan menghabiskan anggaran proyek-proyek dari pemerintah pusat. Go Green Gorontalo harus betul-betul direalisasikan. Kalau tidak, pembangunan sekarang ini tidak akan berarti apa-apa, dan Gorontalo akan mundur berpuluh-puluh langkah ke belakang. Isu pemanasan global yang menjadi mainstream global saat ini memaksa setiap pemerintah belahan dunia manapun di bumi ini untuk memahami dan merespon isu lingkungan hidup. Kalau Gorontalo tidak mengikuti trend ini, kita akan mundur beratus-ratus langkah lagi.

Selamat Hari Raya Idul Adha bagi kita semua, mohon maaf lahir dan batin. Semoga akan ada lahir seorang yang memiliki semangat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail untuk berkorban untuk Gorontalo yang lebih baik. Turut berduka bagi keluarga, sahabat dan handai tolan korban bencana banjir di Gorontalo. Selamat Natal dan selamat menyongsong tahun baru 2008. Semoga tahun depan menjadi lebih baik dari tahun 2007 yang dipenuhi dengan bencana.

Jakarta, 21 Desember 2007.

* Penulis adalah Pendiri & Dewan Penasehat JAPESDA Gorontalo;

Saat ini menjadi Manager PME dan Relasi Donor Eksekutif Nasional

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)/Friends of the Earth Indonesia di Jakarta

Leave a comment