Posted February 1, 2010 by prapedas
Categories: Uncategorized

Menyelamatkan Danau Limboto

 sahroel polontalo

Gorontalo Post, edisi 19 Januari 2010, sebagaimana dikutip oleh situs resmi Pemerintah Provinsi Gorontalo, memuat sebuah tulisan yang memprediksi bahwa  24 tahun lagi, yakni tahun 2034, Danau Limboto bakal  hilang dan menjadi daratan!!!

Siapa pun, tentu saja, tidak rela hal itu terjadi.

Namun, jika toh itu terjadi, maka sejarah akan  mencatat siapa saja para politisi, birokrat, tokoh masyarakat Gorontalo, akademisi, wirausahawan, jurnalis, aktivis LSM,  yang memiliki posisi strategis pada tahun-tahun kritis ini,   namun tidak melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh signifikan, sehingga malapetaka itu terjadi.

Secara nasional, Danau Limboto telah ditetapkan sebagai danau yang mendapatkan prioritas utama untuk ditangani oleh Pemerintah (pusat). Konferensi Nasional Danau Indonesia (KNDI) I di Bali pertengahan Agustus 2009 lalu telah memberikan pesan yang sangat jelas tentang pentingnya penyelamatan Danau Limboto.

Kondisi Danau Limboto Tahun 2009. (Sumber: Balihristi)

Sejak tahun 2008, ikhtiar penyelamatan Danau Limboto telah didukung oleh ketersediaan Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo yaitu Perda  No. 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Danau Limboto.

Berbagai kajian terhadap Danau  Limboto  telah dilakukan, antara lain,  oleh JICA (Jepang), CIDA (Kanada), Pemrov Gorontalo bekerjasama dengan berbagai pihak termasuk dengan UNG, KLH, PSL, Departemen Kelautan dan Perikanan, ITB dan LIPI.

Berapa besar dana untuk studi-studi dan kajian-kajian itu? Pasti banyak. Berapa banyak data yang telah terkumpul? Pasti bertumpuk,  lengkap, dan komplit (menurut yang melakukan studi).

Tahun 2006 telah disusun  Master Plan Pengelolaan Danau Limboto, hasil kerjasama PSL Universitas Negeri Gorontalo, Balitbagpedalda Provinsi Gorontalo, dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

Terakhir, Badan Lingkungan  Hidup, Riset  dan Teknologi Informasi (Balihristi) Provinsi Gorontalo telah menerbitkan Profil Danau Limboto tahun 2009 yang memuat data terakhir serta rencana aksi untuk penyelamatan Danau Limboto (bisa diunduh di bank data provinsi gorontalo).

Sebagai tindak lanjut dari adanya Perda, telah disusun Program Implementasi Perda Danau Limboto, yang terdiri dari tiga program utama yaitu: (1) Program Pemulihan Danau Limboto, (2) Program Pemanfaatan Danau, dan (3) Program Pelestarian Danau Limboto. Masing-masing program dirinci dalam kegiatan-kegiatan yang relevan.

Dalam matriks  program implementasi itu, disebutkan instansi mana saja yang menjadi penanggung jawab, perkiraan sumber dana (APBN, APBD dan swasta), serta kerangka waktunya.

Setelah ada komitmen nasional,  tersedia payung hukum di tingkat provinsi dan setelah tersusun program implementasinya, warga pemerhati Danau Limboto sedang menunggu-nunggu,  aksi apa saja yang akan dilakukan oleh pemerintah (di berbagai tingkatan) sebagai bentuk implementasi program-program yang ada. Apakah akan ada perubahan yang signifikan? Atau…..?

Dari kerangka pikir birokrasi, jika telah tersedia payung hukum (kebijakan nasional, Perda dan Peraturan Gubernur), dan setelah tersedia program implementasinya, langkah selanjutnya adalah tinggal mengalokasikan anggaran (setiap tahun) melalui APBD atau menunggu niat baik pusat untuk mengalokasikan APBN nya untuk merealisasikan kegiatan-kegiatan yang diprogramkan. Itu artinya, ada amanah bagi para birokrat di instanti tertentu berupa dana yang cukup besar untuk melestarikan Danau Limboto.

Namun jika ditelaah, program-program dan kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan itu sebenarnya menyisakan satu pertanyaan yang kerap kali luput diperhatikan. Pertanyaannya adalah, “Bagaimana pelibatan masyarakat / warga DAS limboto dalam pengimplementasian  program-program itu?  Apakah melibatkan warga DAS Limboto secara signifikan atau tidak?”

DAS Limboto, sebagai catcment area dari Danau Limboto, memiliki luas 91.004 ha tersebar di 9 (sembilan) kecamatan dan 70 (tujuh puluh) desa. Itu artinya air hujan yang jatuh di titik mana pun di 70 desa itu berpotensi menuju Danau Limboto, dan membawa sedimen, zat hara, atau polutan. Karena itu, pelibatan seluruh warga DAS dan badan hukum yang memiliki persil lahan di 70 desa itu wajib dilakukan.

Wikimapia

Pelibatan warga DAS secara keseluruhan itu memiliki justifikasi baik dari sudut pandang pendekatan biofisik maupun pendekatan institusi sebagai berikut:

Dari sudut pandang biofisik, problem utama Danau Limboto terutama berkaitan dengan aliran permukaan (run off) yang berasal dari tiap persil lahan yang ada di DAS Limboto. Aliran permukaan itu mengalir menuju sungai-sungai  dan masuk ke danau. Persoalannya adalah aliran permukaan itu  membawa sedimen yang tererosi (yang membuat danau menjadi dangkal), membawa zat hara dari daerah pertanian (menyebabkan pengkayaan mineral sehingga eceng gondok tumbuh subur), dan membawa limbah (rumah tangga dan industri) yang membuat air danau tercemar. Dan, pada saat tertentu debit aliran permukaannya melampaui kapasitas tampung danau (yang menyebabkan banjir).

Dari sudut pandang ini, maka salah satu fokus utama dan strategis dari ikhtiar pengelolaan Danau Limboto adalah penekanan pada pengendalian debit run off itu.  Dan, pengendalian debit run off yang masuk ke Danau harus melibatkan seluruh pemilik persil lahan yang ada di DAS Limboto. Setiap pemilik persil lahan adalah “produsen” debit run off.

Kemudian, dari sudut pandang institusi (aturan main), ada dua kemungkinan penyebab terjadinya degradasi Danau Limboto.  Kemungkinan pertama adalah tidak ada atau belum adanya aturan main (rule of the game) yang memadai yang mengatur dan membentuk perilaku warga DAS berkaitan dengan  pengelolaan sumber daya alam yang ada. Sedangkan kemungkinan kedua adalah aturan-aturan tentang itu sudah ada, meski mungkin belum lengkap, tapi aturan-aturan yang ada itu sulit atau tidak bisa ditegakkan.

Aturan yang tidak ditegakan akan menciptakan kondisi yang sama dengan kondisi tanpa aturan. Aturan tanpa sanksi (bagi yang melanggar) adalah percuma/sia-sia.

Setidaknya ada dua penyebab mengapa aturan-aturan itu tidak bisa ditegakan, yaitu berkaitan dengan rendahnya  biaya penegakan aturan (enforcement cost) yang dialokasikan oleh pemerintah dan soal kapasitas/integritas  si penegak aturan. Pihak yang perilakunya ingin dibentuk melalui  berbagai aturan itu adalah warga DAS secara keseluruhan.

Dari sudut pandang ini, maka problem Danau Limboto tidak berkaitan dengan rendahnya kesadaran warga sebagaimana kerap kali diungkapkan oleh para pejabat kita, tapi berkaitan dengan gagalnya pemerintah menegakkan aturan. Aturan yang ditegakan akan membentuk perilaku yang diinginkan.

Hal yang juga krusial berkaitan dengan aturan ini  adalah kita selama ini berfokus pada aturan formal (yang dikeluarkan oleh negara/pemerintah). Padahal berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, sebagaimana ditunjukkan oleh studi panjang Elinor Ostrom  (penerima Nobel Ekonomi tahun 2009), tata kelola sumber daya alam justru akan jauh lebih efektif melalui penegakan aturan non-formal (yaitu aturan yang dibuat, disepakati dan di tegakan sendiri oleh warga yang memanfaatkan sumber daya alam itu). Tugas pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat adalah menfasilitasi komunitas-komunitas lokal agar mereka mampu menyusun, menyepakati  dan membangun mekanisme penegakan aturan yang dibuat sendiri oleh komunitas itu. Termasuk mekanisme penyelesaian konflik.

Keharusan untuk bekerjasama (kolaborasi) antar  pemangku kepentingan juga menjadi prasyarat utama. Disamping  pemerintah, kalangan akademisi di perguruan tinggi (UNG), dunia usaha (Kadin dan asosiasi-asosiasi  pengusaha), LSM, media masa, ormas dan organisasi di tingkat desa/kelurahan, harus diposisikan sebagai pihak-pihak memiliki peran penting dan strategis.  Jika dilihat dari matriks program implementasi yang dibuat, peran unsur-unsur non pemerintah terkesan masih marjinal.

Dari pembahasan  sederhana itu, saya mengusulkan tiga prinsip dasar yang seyogyanya melandasi pengimplementasian program-program yang sudah tersusun  itu.  Sebagaimana tag line dari blog ini, ketiganya adalah :

  1. Berbasis warga DAS
  2. Manajemen Kolaboratif
  3. Aksi Kolektif Lokal

Jadi, usaha-usaha untuk (1) pemulihan danau limboto, (2) pemanfaatan danau limboto dan (3) pelestarian danau limboto harus dilaksanakan dengan (1) berbasis warga DAS Limboto (bukan hanya warga pesisir danau Limboto), (2) dilaksanakan dengan manajemen kolaboratif, dan melalui (3) aksi-aksi kolektif lokal.

Langkah paling awal untuk memulai semua itu adalah penetapan batas Danau Limboto secara definitif. Memang langkah ini  bukanlah hal yang mudah dan dapat memicu “konflik” antara pemerintah dengan warga yang telah mengklaim tanah-tanah timbul yang ada. Namun, betapa pun tidak mudahnya, inilah langkah awal yang harus dilalui.

Acuan yang bisa dipakai adalah Peraturan Pemerintah PP No. 6 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Pasal 12 dari PP itu menegaskan bahwa:  “Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara.”

Setelah adanya batas Danau, maka hal kedua yang penting dilakukan adalah menyepapakti: Berapa volume air yang ditargetkan ingin ditampung oleh Danau Limboto pada tahun 2015, 2020, 2025.

Data Dephut , misalnya, menyebutkan pada tahun 1993 kapasitas volume danau mencapai 42.722.651,25 m3. Berapa kapasitas volume pada tahun 2010 ini? Data kapasitas volume ini penting sebagai base line data, sebagai dasar untuk penyepakatan berapa kapasitas volume Danau Limboto yang ditargetkan pada tahun-tahun 2015, 2020, 2025, dan seterusnya.

Angka target ini harus dikomunikasikan terus-menerus ke pada seluruh warga Das Limboto. Dan, terutama, bagaimana metode/cara yang harus dilakukan oleh warga das dan stakeholder lainnya agar target itu bisa terealisir.

Dengan target angka-angka ini, disamping akan menuntun langkah semua pihak, hal itu juga untuk memastikan bahwa pada tahun 2034, Danau Limboto tidak akan menjadi  daratan, sebagaimana yang diprediksi.

Salah satu hal yang pasti adalah – berdasarkan pengalaman yang lalu lalu – dana yang tersedia akan senantiasa terbatas, sehingga diperlukan prioritisasi kegiatan. Salah satu kaidah ushul fiqh yang mungkin bisa digunakan adalah: ““mencegah mafsadah (kerusakan) harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan”.

wallahu a’lam bissawab (dan Allah lebih mengetahui)

mudah-mudahan Allah SWT meridhoi usaha-usaha kita. amin.

depok,  februari 2010,  sahroel polontalo.

Oh ya… blog  ini  memuat tulisan-tulisan – yang telah diterbitkan – yang bisa dicopy paste dan didownload dari berbagai situs di internet, berkaitan dengan Danau Limboto serta permasalahan dan pengelolaan danau secara umum di Indonesia.

Mudah-mudahan tulisan-tulisan yang ada bisa menjadi cermin dan penyemangat bagi siapa pun yang peduli terhadap pelestarian Danau Limboto dan mudah-mudahan akan merasa  terdorong untuk terus-menerus melakukan Aksi Penyelamatan Danau Limboto, betapapun  kecilnya aksi itu.

Pengembangan Danau di Finlandia. Danau Limboto tidak akan dan tidak harus seperti ini. Tapi gambar ini setidaknya bisa dijadikan inspirasi

foto udara danau limboto. sumber: wikimapia