Verrianto Madjowa (2)

Limboto, Dulu dan Kini

Oleh: Verrianto Madjowa , Majalah D&R, 19 Juli 1997

Sumber:http://www.mail-archive.com/gorontalomaju2020@yahoogroups.com/msg04566.html

Danau Limboto mengalami penyempitan dan pendangkalan yang sangat drastis. Penyebabnya adalah penggundulan hutan di hulu danau.

KEKERINGAN yang melanda Tanah Air belakangan ini menyebabkan pendangkalan di sejumlah danau dan sungai. Tapi, tidak demikian halnya dengan Danau Limboto, yang terletak di Kabupaten Gorontalo, Sulawesi Utara (Sul-Ut). Selama 60 tahun terakhir ini, tak peduli musim kering atau musim hujan, danau alam yang menghidup ribuan warga yang tinggal di sekitarnya itu terus mengalami penyempitan dan pendangkalan. “Dulu, waktu saya masih kuat menyelam, kedalaman danau masih 10 meter lebi. Sekarang tinggal satu sampai dua meter. Itu pun lumpurnya lebih banyak,” tutur Hutu Tudi, 80 tahun nelayan Desa Iluta, Kecamatan Batudaa, yang sepanjang hidupnya menggantungkan nasib di danau yang melingkupi lima kecamatan Batudaa, Limboto, Tibawa, Telaga dan Kota Barat— itu. Tudi masih ingat, tahun 1951, pesawat Catalina yang membawa Presiden Soekarno mendarat di permukaan Danau Limboto, yang tentunya belum sedangkal sekarang.

Menurut catatan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Sul-Ut tahun 1995, selama enam dasawarsa, Danau Limboto mengalami penyempitan sekitar empat ribu hektare dan pendangkalan sampai 12 meter. Tahun 1934, kedalaman danau ini masih 14 meter dengan luas mencapai tujuh ribu hektare. Tapi, pada tahun 1993, luasnya tinggal 3,022 hektare, dengan kedalaman Cuma 1,8 meter (lihat tabel). Di satu sisi, pendangkalan dan penyempitan itu ”menguntungkan” warga. Kawasan bekas danau itu dimanfaatkan oleh warga setempat menjadi lahan yang cukup subur. Di Desa Bolihuangga, misalnya, sekitar dua kilo meter persegi luas areal danau itu kini sudah berubah menjadi tegalan yang ditanami padi dan jagung pada saat musim pancaroba.

Namun, kerugian yang mereka derita lebih besar lagi. Saat musim hujan tiba, danau yang makin menciut itu tak sanggup lagi menampung luapan air yang datang dari 13 anak sungai yang bermuara ke Limboto. Akibatnya, banjir menenggelamkan rumah-rumah penduduk, lahan, dan menggagalkan panen. Pernah terjadi, banjir besar menyebabkan panen gagal sampai dua tahun lamanya karena semua tanaman rusak.

Pendangkalan itu juga menyebabkan berkurangnya ikan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Di Danau Limboto hidup beragam jenis ikan, seperti ikan huluu, gabus, payangga, belut, mangga bai, botuwa, monggaheto, dumbaya, bandeng, mujair, udang dan kepiting. Menurut Penelitian Sub Balai Perikanan Air Tawar Jatiluhur, produksi perikanan di Danau Limboto kini cuma sekitar 223 kilogram per hekare per tahun. Padahal, tahun 1970, panen bisa mencapai empat ribu ton per tahun. Tak jelas, apakah jenis-jenis ikan itu juga ikut berkurang. Tapi kini, tempat penjualan ikan di Desa Dehualolo tampak sepi dan ditinggalkan para pedagang. Di pasar Sore dan pasar Seribu, aktivitas penjualan ikan pun tampak menyurut. “Penghasilan saya untung-untungan, cuma Rp 1000 sehari. Kadang-kadang bahkan tidak dapat ikan sama sekali,” Tudi mengeluh.

Para nelayan kecil itu juga masih harus bersaing dengan para nelayan bermodal besar yang kini mulai menjamur. Di sepanjang areal danau yang tersisa tampak berjejer ratusan rumah kecil yang digunakan sebagai tempat pembiakan ikan dengan sistem karamba. Jenis ikan yang dibiakkan umumnya adalah yang bernilai jual tinggi, seperti ikan emas dan nila. Para nelayan ”kelas baru” itu umumnya adalah kalangan berduit, seperti pejabat pemerintah dan pengusaha. Kehadiran karamba ikan itu juga menjadi salah satu faktor penyebab pendangkalan. Karena, sampah dedaunan dan batang kayu yang dipakai untuk membikin karamba itu biasanya ditinggalkan begitu saja.

Bisa dimaklumi kalau para nelayan kecil yang harus bertarung dengan dua “lawan” “alam dan para pemodal besar” kini cenderung berlaku nekat untuk menjala ikan yang tersisa. Mereka kini mulai menggunakan cara-cara yang tak ramah lingkungan untuk menangkap ikan. Misalnya dengan menggunakan aki enam volt. Aki itu dimasukkan ke kotak kecil, lalu kutub-kutubnya disambungkan ke kawat sepanjang 1,5 meter yang sebagian diselongsongi papan. Kawat itu lalu diulur ke air. Nah, ikan-ikan yang terkena setrum itu akan kelojotan, lalu teler dan gampang ditangkap secara massal. Tapi, cara itu juga berbahaya bagi si nelayan sendiri. “Ada yang mati karena pakai listrik yang lebih besar dari enam volt,” kata Tudi.

Mengapa Danau Limboto terus menciut dan mendangkal? Menurut Ibrahim Lamasika, 34 tahun, warga Bolihuangga, penggundulan gunung dan hutan di sekitar Limbotolah penyebab utama pendangkalan dan penciutan danau itu. Akibatnya, terjadi erosi di muara danau. Banjir juga membawa rerumputan, sampah, lumpur, dan bermacam sedimen lainnya mengendap di dasar danau dan menyebabkan pendangkalan. ‘Erosi itu membawa partikel-partikel yang merusak ladang-ldang di bawahnya dan mempercepat pendangkalan,” ujar lulusan Universitas Sam Ratulangi ini.

Menurut catatan Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Kanwil Kehutanan Sul-Ut, luas hutan yang merupakan daerah resapan air menyusut dari 91.004 hektare pada awal 1980-an menjadi cuma 23.257 hektare saat ini. Secara hidrologis, daerah resapan air Danau Limboto terdiri dari dua bagian: bagian hulu yang berupa kawasan berbukit-bukit dan daerah dataran rendah yang menjadi daerah cebakan air (water reservoir). jadi, bila bagian hulunya ditebangi, air hujan akan mengalir tak tertahankan ke daerah-daerah di bawah.

Wartawan D&R yang menyusuri daerah hulu dan kawasan resapan air Danau Limboto mendapati penebangan hutan itu dimodali kalangan berduit di Gorontalo. Bahkan, di Kecamatan Kwandang, konon, aksi penebangan itu dibekingi oknum aparat keamanan. Para penebangan ilegal itu, biasanya, beroperasi secara diam-diam dan memuat kayu hasil tebangan pada malam hari. “Kalau ketemu petugas jagawana (penjaga hutan), mereka main mata dengannya. Padahal, kalau yang memuat kayu curian itu orang biasa, biasanya diproses dan kayunya disita,” cerita seorang warga Kwandang kepada D&R.

Akibat penyusutan daerah resapan air itu, banjir besar berkali-kali melanda kawasan itu. Apalagi, pola aliran sungai-sungai yang bermuara ke Danau Limboto tergolong unik. Di beberapa tempat terdapat percabangan anak sungai yang hampir tegak lurus dengan sungai induknya. Sementara itu, panjang lereng danau di sisi barat relatif lebih besar daripada lereng utara dan timur. Hal itu mempengaruhi intensitas aliran banjir yang melanda kawasan dibawahnya. Di bagian barat itu pula air membanjiri Danau Limboto.Daerah aliran sungai Limboto-Bone-Bolango juga merupakan daerah pendangkalan yang paling kritis. Sementara itu di bagian timur, banjir mengalir ke sekitar Sungai Poso dan Kelurahan Dambalo. Bulan Juli sampai September 1995, misalnya, Danau Limboto meluap dan membanjiri Gorontalo.

Selain erosi, banjir juga menyebabkan terjadinya proses penyuburan (eutrofikasi). Aliran banjir meningkatkan jumlah kandungan bahan organik di air, yang pada gilirannya menaikkan pertumbuhan tanaman air pengganggu (gulma). Proses itu juga menyebabkan kandungan oksigen di air menurun, yang mengakibatkan matinya ikan dan hewan air lainnya. Dua tahun silam, Pemerintah Daerah Gorontalo sudah berupaya untuk mengeruk endapan lumpur dan memangkas gulma air itu. Tapi, proyek itu cuma berjalan sesaat karena kekurangan dana, sementara gulma yang digusur itu tumbuh kembali dengan cepat. “Sebenarnya, kami juga kerja bakti untuk memperlancar aliran air ke danau. Tapi, bagaimana dengan bukit yang terus digunduli itu,” ujar Lamasika.

Toh, bukannya tak ada upaya untuk mengatasinya. Pemerintah daerah dengan dibantu tim dari Canadian International Development Agency sedang mengembangkan rencana induk proyek pengelolaan sumberdaya air terpadu di Danau Limboto. Di antaranya, pembangunan waduk-waduk, pembagian air dari satu sungai ke sungai lainnya, dan penggunaan air secara optimal. Sementara itu, untuk menanggulangi penggundulan hutan di daerah aliran sungai Limboto, pihak Kanwil Kehutanan Sul-Ut juga telah memprogram penghijauan kembali hutan gundul itu. Tak tanggung-tanggung, penghijauan itu dilaksanakan lewat proyek khusus Inpres Penghijauan Danau Limboto. Tahun 1992, Pekan Penghijauan Nasional yang diresmikan Presiden Soeharto dipusatkan di kawasan itu. Dengan begitu diharapkan Danau Limboto tak akan tinggal sebagai kenangan indah saja.

Verrianto Madjowa (Gorontalo)

Leave a comment