4 Profil Daerah

MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN DI DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT

MARGANOF

SEKOLAH PASCASARJANA, INSTITUT PERTANIAN BOGOR, BOGOR, 2007

IV. PROFIL DAERAH PENELITIAN

4.1. Letak Administrasi dan Kondisi Geografis

Danau Maninjau secara administrasi termasuk ke dalam wilayah  Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat dengan  jarak 105 km dari kota Padang. Secara geografis wilayah ini terletak pada 00 17’ –  07.04’’ LS dan 1000 – 09’58.0” BT dengan ketinggian 461,5 meter di atas  permukaan laut (dpl). Dilihat dari proses terbentuknya, Danau Maninjau merupakan danau vulkanis, yaitu berasal dari letusan gunung berapi.

Kawasan Danau Maninjau, memanjang dari arah utara ke selatan dengan  panjang 16,4 km dan lebar 7 km, dengan batas-batas sebelah utara Kecamatan  Palembayan, sebelah selatan Kecamatan V Koto Kabupaten Padang Pariaman,  sebelah barat Kecamatan IV Nagari dan sebelah timur Kecamatan Matur.  Kawasan sekitar Danau Maninjau dikelilingi oleh 7 nagari (gabungan dari  beberapa desa). Nagari-nagari tersebut adalah Nagari Maninaju, Nagari Bayur,  Nagari Koto Kaciak, Nagari Tanjung Sani, Nagari II Koto, Nagari III Koto dan Nagari Sungai Batang.

Curah hujan di kawasan danau tahun 2003 adalah 1.466 mm dengan  jumlah hari hujan 112 hari, sedangkan curah hujan pada tahun 2004 menurun  1.413 mm dengan jumlah hari hujan 177 hari. Pada tahun 2005 curah hujan  menurun 1.363 mm dengan jumlah hari hujan 140 hari. Bulan terkering di  kawasan Danau Maninjau adalah Juni dengan curah hujan 171,3 mm dan bulan terbasah adalah Nopember dengan curah hujan 497,8 mm.

Danau Maninjau memiliki satu saluran air keluar yaitu Batang Antokan  yang mengalir ke Samudera Indonesia di pantai barat Sumatera Barat.  Berdasarkan laporan hasil studi LIPI (2003), batimetri danau memiliki  karakteristik sebagai berikut: luas permukaan danau adalah 9.737,50 ha, panjang  maksimum 16,46 km, lebar maksimum 7,5 km, volume air 10.226.001.629,2 m3,  kedalaman maksimum 105 m dengan luas daerah tangkapan air (catchment area) sebesar 13.260 ha.

4.2. Iklim dan Curah Hujan

Iklim berpengaruh terhadap semua proses dinamika perairan yang terjadi,  misalnya pola arus, sebaran panas, proses ekofisiologis biota air, dan kondisi  hidrometeorologi. Perubahan dan penyimpangan iklim akan mempengaruhi  proses-proses yang ada dalam daerah tangkapan air dan badan air, seperti  hidrologi, neraca air, pola arus, sebaran panas, dan proses-proses biokimia yang ada di dalamnya.

Berdasarkan data curah hujan dari Stasiun Maninjau mulai tahun 1993-  2005 menunjukkan bahwa pola hujan bulanan dapat dikatakan relatif merata  sepanjang tahun. Bulan Nopember yang merupakan bulan dengan curah hujan  lebih tinggi, sedangkan bulan Juni merupakan bulan dengan curah hujan terkecil.  Rata-rata curah hujan bulanan sebesar 299 mm dan curah hujan tahunan 3661  mm. Data pendukung terhadap klasifikasi iklim di daerah kawasan danau tercantum pada Tabel 16.

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson kawasan  danau memiliki iklim golongan A yaitu daerah yang sangat basah dengan nilai Q  sebesar 4,52%. Hal ini berdasarkan pada jumlah bulan basah yaitu 10,41/tahun.  Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Mohr, daerah kawasan Danau Maninjau  termasuk golongan I, yaitu daerah basah. Sementara itu, berdasarkan klasifikasi  Koppen, kawasan Danau Maninjau beriklim hujan tropik dengan suhu bulanan  terdingin > 18 0C. Hal ini dicirikan kondisi daerah tangkapan air selalu basah,  hujan rata-rata tiap bulan > 60 mm, dengan suhu udara berkisar antara 18–30 0C  (Handoko, 1995). Tabel 17 memperlihatkan jumlah bulan basah, kering dan lembab di kawasan Danau Maninjau.

Kawasan Danau Maninjau memiliki curah hujan rata-rata tahunan kurang  lebih 1.563 mm yang mengalami dua puncak hujan dalam setahun yaitu bulan  April–Mei dan Oktober–Nopember. Keragaman curah hujan di kawasan danau  juga dipengaruhi oleh sistem topografi yang memungkinkan terjadinya tipe hujan  orografik. Kondisi ini menyebabkan kawasan danau memiliki sifat relatif basah,  terjadi hujan sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata bulanan pada musim yang  lebih kering (kemarau) berkisar antara 171,3–267,6 mm, sedangkan pada musim hujan berkisar antara 283,4–497,8 mm.

4.3. Kondisi Topografi

Secara umum, kawasan Danau Maninjau dapat dibedakan atas 2 tipologi berdasarkan karakteristik wilayahnya:

  1. Wilayah di bagian utara-barat punggung dalam Danau Maninjau.  Topografi di wilayah ini relatif datar (0-2% seluas 115,51 ha), sehingga  cenderung menjadi daerah orientasi pembangunan saat ini. Kawasan  terbangun ini menunjukan adanya konsentrasi penduduk dan kegiatan,  salah satunya adalah beberapa obyek wisata serta sarana dan prasarana pendukungnya.
  2. Wilayah di bagian timur-selatan punggung dalam Danau Maninjau.  Topografinya cenderung berbukit dan bergunung dengan kemiringan tanah >15% dengan luas 95,79 ha.

4.4. Hidrologi

Kondisi hidrologi kawasan danau secara umum dipengaruhi oleh dua  faktor utama, yaitu air permukaan dan air tanah. Air permukaan di kawasan danau  sebagian besar mengalir melalui pola penyaluran yang telah terbentuk. Sumber air  Danau Maninjau terutama berasal dari sungai-sungai yang mengalir sepanjang DAS yang bermuara ke danau dan air hujan.

Di kawasan danau terdapat 88 buah sungai besar dan kecil dengan lebar  maksimum 8 meter yang mengalir ke danau. Kebanyakan dari sungai tersebut  (61,4%) kering pada waktu musim kemarau, sedangkan sungai-sungai yang berair  sepanjang tahun hanya 34 buah sungai. Sungai-sungai tersebut mengalir dengan  debit yang relatif kecil. Tabel 18 menyajikan data debit beberapa sungai besar yang mengalir ke perairan Danau Maninjau.

Sungai-sungai yang bermuara ke Danau Maninjau memiliki perbedaan  tipe. Sungai-sungai di sebelah utara Danau Maninjau memiliki pola linear (lurus  atau tidak bercabang), sedangkan sungai di sebelah barat danau pada umumnya  berpola dendritik (bercabang). Dengan demikian maka inflow air Danau Maninjau  sebagian besar bersumber dari aliran sungai dan dari dasar danau (Bapedalda Sumbar, 2001).

4.5. Geologi Kawasan Danau Maninjau

Danau Maninjau merupakan danau kaldera yang berbentuk elips dengan  batas di sebelah timur dengan adanya volkano-tektonik yang terbentuk dari batuan  dasar kompleks yaitu granodiorit, diabas, phyllitic, sekis dan gamping. Bentuk  kaldera yang memanjang menunjukkan masa erupsi yang lama pada waktu terjadi pergeseran lateral kanan pada jalur patahan utama Sumatera.

Jenis tanah yang terdapat di kawasan Danau Maninjau didominasi oleh  jenis tanah andosol-distrik seluas 17.319 ha (32,69%) dan yang paling sedikit  adalah jenis tanah kambisol eutrik seluas 585 ha (1,10 %). Jenis-jenis tanah yang  ada di kawasan danau secara keseluruhan meliputi 6 jenis tanah, yaitu (1) tanah  andosol distrik seluas 17.319 ha (32,69%), (2) glisol distrik seluas 13.323 ha  (25,15%), (3) kambisol distrik seluas 6.808 ha (12,85%), (4) organosol saprik  seluas 3.687 ha (6,69 %), (5) regosol seluas 1.044 ha (1,97%) dan (6) kombisol eutrik seluas 558 ha (1,10 %).

Kawasan Danau Maninjau mempunyai bentuk lahan dari datar sampai  dengan perbukitan atau bergunung. Topografi kawasan danau terdiri dari berbagai  kelas kelerengan, yaitu lahan datar dengan kelas kelerangan (0 – 8%), landai (8– 15%), agak curam (15–25%), curam (25–40% ) dan sangat curam > 40%.

4.6. Tataguna Lahan di sekitar Perairan Danau Maninjau

Bentuk penggunaan lahan di kawasan Danau Maninjau terbagi dalam  bentuk tegalan, sawah, hutan dan pekarangan atau permukiman. Penggunaan  lahan yang ada akan berpengaruh terhadap penutupan tanah dan akan berpengaruh  terhadap erosi dan sedimentasi di sub-sub DAS yang bermuara di Danau  Maninjau. Besarnya erosi yang terbawa oleh limpasan yang terjadi di wilayah  kawasan danau per tahun rata-rata 16 ton per ha, dengan total sedimen yang  masuk ke danau setiap tahunnya sebanyak 2.410 ton (PSDA Sumbar, 2005).

Erosi yang terjadi di kawasan Danau Maninjau dapat menyebabkan  merosotnya produktivitas lahan, rusaknya lingkungan, dan terganggunya  keseimbangan estetika danau serta pencemaran perairan danau. Erosi akan  berpengaruh terhadap penurunan produktivitas tanah akibat dari pengikisan tanah  atau hilangnya tanah lapisan atas, memburuknya sifat fisik dan kimia, berkurangnya aktivitas biologi tanah dan tertutupnya tanah lapisan atas.

Penggunaan lahan yang ada akan berpengaruh terhadap penutupan tanah di  sekitar danau. Hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat erosi dan sedimentasi yang masuk ke perairan danau. Tingginya pemanfaatan kawasan hutan, terutama  sebelah timur danau (Nagari Sigiran) untuk pertanian menyebabkan semakin berkurangnya kerapatan tajuk. Hal ini nampak dari banyak tanaman semusim di  lereng-lereng sekitar perairan danau. Tabel 19 memperlihatkan penggunaan lahan  di kawasan Danau Maninjau dan peta penggunaan lahanya dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Peta penggunaan lahan di kawasan Danau Maninjau.

4.7. Kependudukan di Kawasan Danau Maninjau

Penduduk di daerah penelitian adalah penduduk yang bertempat tinggal di  daerah sekeliling danau yang daerahnya berbatasan langsung dengan Danau  Maninjau. Daerah tersebut adalah Nagari Maninjau, Bayur, Tanjung Sani, Sungai  Batang, Nagari II Koto, Koto Kaciak, dan Nagari III Koto. Jumlah penduduk di  kawasan Danau Maninjau relatif merata di 7 nagari. Jumlah penduduk terbesar  berada di Nagari Tanjung Sani (5.799 jiwa), diikuti oleh Nagari II Koto (4.781  jiwa) serta Nagari III Koto (4.667 jiwa), Nagari Bayur (4.255 jiwa), Nagari  Sungai Batang (4.019 jiwa), Nagari Koto Kaciak (3.670 jiwa), sedangkan Nagari  yang berpenduduk paling sedikit adalah Nagari Maninjau (3.341 jiwa). Gambaran kondisi jumlah penduduk di kawasan Danau Maninjau disajikan pada Tabel 20.

Dari Tabel 20 terlihat bahwa di kawasan Danau Maninjau jumlah  penduduk laki-laki adalah 14.866 jiwa (48,69 %) dan jumlah penduduk  perempuan adalah 15.666 jiwa (51,31 %). Dengan demikian terdapat angka  perbandingan jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan (sex ratio) adalah 0,95.

Selain perbandingan tersebut di atas, unsur kependudukan yang paling  penting untuk diperhatikan adalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk  yang mendiami suatu daerah. Dilihat dari kepadatan penduduk, menunjukkan  bahwa kepadatan penduduk di kawasan Danau Maninjau tidak merata di 7 nagari,  sebagian besar nagari berkepadatan di atas 200 jiwa per km2. Nagari yang  memiliki kepadatan di bawah 200 jiwa per km2 hanyalah Nagari II Koto dan  Tanjung Sani. Wilayah yang memiliki kepadatan tertinggi adalah Nagari III Koto  (403 jiwa per km2), sedangkan daerah yang kepadatannya terendah adalah Nagari  Tanjung Sani (125 jiwa per km2). Pada tahun 2005 jumlah penduduk di  Kecamatan Tanjung Raya sebanyak 30.532 jiwa dengan luas wilayah 150,76 km2,  berarti kepadatan penduduk di kawasan Danau Maninjau pada tahun 2005 ratarata  sebesar 203 jiwa per km2. Jumlah dan kepadatan penduduk di daerah kawasan Danau Maninjau disajikan pada Tabel 21.

Angkatan kerja yang terdapat di kawasan Danau Maninjau digambarkan  sebagai bagian dari penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, yang jumlahnya  mencapai 20.337 jiwa (66,61% dari jumlah penduduk). Jumlah penduduk  angkatan kerja mencapai 19.424 jiwa (63,62%), sedangkan jumlah penduduk angkatan kerja yang mencari pekerjaan mencapai 9.129 jiwa (2,99%).

Pada penelitian ini pertumbuhan penduduk dihitung dari tingkat kelahiran  dan kematian serta mobilitas (datang dan pindah), sehingga dari sini didapatkan  gambaran laju pertambahan penduduk yang terjadi di kawasan Danau Maninjau. Pertumbuhan penduduk di kawasan Danau Maninjau disajikan pada Tabel 22.

4.8. Lapangan Kerja di sekitar Perairan Danau Maninjau

Daerah kawasan Danau Maninjau merupakan daerah pedesaan, sehingga  lapangan kerja dari angkatan kerja didominasi olah sektor pertanian. Data  penduduk yang bekerja pada berbagai bidang berjumlah 19.217 orang (62,94%).  Jumlah terbesar pekerjaan penduduk adalah pada bidang pertanian 13.978 orang  (72,47%). Selanjutnya berturut-turut diikuti oleh perikanan 1.275 orang (6,63%),  perdagangan 1.013 orang (5,27%), jasa (tukang) 886 orang (4,61%), PNS dan  pensiunan 848 orang (4,41%), wiraswasta 577 orang (3,0%), dan lainnya 813 orang (4,23%).

Sebagian penduduk yang bertempat tinggal di sempadan danau juga  memelihara ternak sebagai pekerjaan sampingan. Tidak diperoleh data yang tepat  mengenai rumah tangga yang memiliki ternak. Namun dari hasil survey di  lapangan memperlihatkan bahwa jumlah populasi ternak di sekitar kawasan danau  adalah sebagai berikut: sapi potong 955 ekor, kerbau 356 ekor, kambing 99 ekor, ayam (buras, petelur dan kampung) 6.181 ekor serta itik 1.177 ekor.

4.9. Pendidikan Masyarakat di Kawasan Danau Maninjau

Prasarana pendidikan di lokasi penelitian masih terbatas sampai pada  jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Sarana pendidikan terdiri atas 24  unit TK, 40 unit SD dan MI, 5 unit SLTP dan MTsN, 3 unit SMU dan SMK.  Tingkat pendidikan masyarakat di sekitar perairan danau memberikan pengaruh  yang signifikan terhadap pencemaran perairan danau. Tingkat pendidikan yang  pernah diikuti oleh penduduk di sekitar Danau Maninjau dapat dilihat pada Tabel 23.

4.10. Kesehatan Masyarakat

Kondisi kesehatan masyarakat di wilayah studi dapat dilihat dari jenis  penyakit yang sering diderita masyarakat. Jenis penyakit yang umum berkembang  di kalangan masyarakat meliputi radang saluran pernapasan, disentri dan penyakit  kulit. Diantara penyakit tersebut, penyakit disentri dan penyakit kulit merupakan  penyakit yang sering diderita masyarakat. Hal ini berhubungan dengan kondisi  wilayah studi yang berada di pinggiran danau, dalam hal ini perairan danau diduga  menjadi media (sumber) penularan berbagai bakteri. Hal ini masih ditambah  dengan kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya sanitasi lingkungan  dan masih minimnya jumlah sarana kesehatan yang ada di kawasan Danau  Maninjau, yakni hanya ada 2 unit pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan 11 unit puskesmas pembantu.

4.11. Isu Pencemaran di Perairan Danau Maninjau

Danau Maninjau sejak tahun 1985 telah berfungsi sebagai pembangkit  listrik tenaga air (PLTA). Semenjak tahun 1992 Danau Maninjau telah  dimanfaatkan oleh masyarakat untuk aktivitas perikanan keramba jaring apung  (KJA). Pada mulanya jumlah keramba jaring apung yang diusahakan sebanyak 12  unit. Empat tahun kemudian (1996) terjadi peningkatan jumlah keramba hingga 157 kali lipat atau sebanyak 1886 unit. Tahun berikutnya jumlah keramba  mengalami peningkatan lagi yakni mencapai 3.500 unit keramba. Pada tahun 1997  terjadi musibah kematian masal ikan akibat penurunan kualitas air, sehingga  jumlahnya KJA mengalami penurunan menjadi 2.856 unit. Semenjak tahun 2000  jumlah KJA di perairan Danau Maninjau terus mengalami peningkatan, yakni dari  3.856 unit menjadi 8.251 unit pada tahun 2005 dengan jumlah petani ikan  sebanyak 677 kepala keluarga. Pada bulan Maret 2006 jumlah keramba di  perairan Danau Maninjau sudah mencapai 8.955 unit dengan jumlah petani ikan sebanyak 1.264 kepala keluarga.

Kegiatan budidaya perikanan dalam KJA ini berkembang hampir pada  seluruh kawasan perairan danau. Pada umumnya keramba yang diusahakan  menggunakan model rakit dari kayu (bambu) dengan ukuran 7x7x4 meter . Ikanikan  dalam KJA ini diberi makan dengan pakan buatan (pellet). Peningkatan  jumlah KJA di perairan danau juga telah meningkatkan limbah KJA, yang pada  akhirnya memberikan dampak negatif terhadap lingkungan perairan. Terjadinya  eutrofikasi yang lebih cepat dengan frekuensi yang sering, sehingga menyebabkan  mutu perairan menjadi menurun. Hal ini merupakan salah satu contoh dampak  dari peningkatan jumlah limbah KJA. Demikian juga halnya dengan limbah sisa  pakan dan kotoran ikan yang menumpuk di dasar perairan danau, untuk selanjutnya mengalami dekomposisi atau penguraian.

Peningkatan buangan bahan organik ke dasar perairan danau akan  merangsang aktivitas bakteri, jamur dan makro-invertebrata, sehingga  meningkatkan konsumsi oksigen di sedimen. Akibat jumlah sisa pakan cukup  banyak, menyebabkan terjadinya kondisi anaerob di daerah perairan. Oleh karena  itu maka kejadian kematian ikan masal pernah terjadi, disebabkan karena adanya  pengadukan (pembalikan) massa air yang disebut dengan turnover (umbalan) pada  saat penggantian musim kemarau ke musim hujan atau pada saat terjadinya angin kencang yang telah menelan kerugian yang sangat besar.

Kegiatan budidaya KJA secara langsung akan berpengaruh buruk terhadap  kualitas perairan danau. Hal ini disebabkan dari budidaya KJA terjadi  penambahan yang terus menerus dan penumpukan bahan organik yang berasal  dari sisa pakan dan sisa metabolisme, sehingga akan meningkatkan unsur hara di perairan danau. Unsur hara yang berlebihan dapat menyebabkan eutrofikasi, yang  salah satu indikatornya adalah meningkatnya kekeruhan air (Henderson et al.,  1987). Kekeruhan ini dapat disebabkan oleh tingginya konsentrasi fosfat, terutama  yang berasal dari sisa pakan ikan. Hasil penelitian Syandri (2001) melaporkan  bahwa limbah yang masuk ke perairan danau dari aktivitas 2.410 unit KJA setiap  bulannya adalah 77,49 ton protein limbah, 12,3984 ton nitrogen limbah dan 26,95 ton urea.

Tingginya konsentrasi fosfat, selain dari sisa pakan diduga juga berasal  dari limbah manusia dan limbah domestik lainnya yaitu berupa tinja dan deterjen.  Setiap tahunnya beban limbah fosfor (P) dari deterjen yang masuk ke perairan  danau berjumlah 9,02 ton (LPP-UMJ, 2006). Hal ini akan menstimulir peningkatan kandungan fosfat dan kekeruhan di perairan danau.

Sedimentasi sebagai akibat erosi dari pemanfaatan lahan di daerah  cathment area dan daerah sempadan danau akan menyebabkan terjadinya  pendangkalan danau, sehingga mempengaruhi elevasi air danau. Erosi juga  menyebabkan meningkatnya kekeruhan di badan air, sehingga mengurangi  penetrasi cahaya yang masuk ke badan air tersebut. Hal ini mengakibatkan  terjadinya penurunan produksi primer perairan danau.

Leave a comment