Peter E.Hehanussa dan Gadis Sri Haryani

KLASIFIKASI MORFOGENESIS DANAU DI INDONESIA UNTUK MITIGASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

Oleh: Peter E.Hehanussa dan Gadis Sri Haryani

  • Asia Pacific Center for Ecohydrology (APCE)
  • Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
  • phnussa@yahoo.com dan gadis@limnologi.lipi.go.id

Konferensi Nasional Danau Indonesia I, Sanur-Denpasar-Bali, 13-15 Agustus 2009.

ABSTRACT

Lakes are important water bodies that have supported human life needs. Until a few decades ago they were neglected, the limnology of these lakes were not defined until the 1970’s. Lakes have a variety of functions related to the ecosystem and biodiversity health. They are used for transportation, sources of protein, for hydropower generation, surface-groundwater interaction, micro-climate function, endemic species protection, for sport, tourism, tradition, cultural as well as religious functions.The tectonic origin of the Indonesian archipelago left a signature to the origin of lakes. An earlier morpho-genetic classification of lakes was proposed (Hehanussa and Haryani, 1995, 2005), it was used for water resources planning of lakes and in the future for setting up mitigation plans of lakes related to climate change. Studies on lake water should not be separated from characters adhering to from the surrounding catchment area. Thus, mitigation plans should not restrict only to the lake area, but plan together with the geo-history / origin of lakes.

Lakes in Indonesia were divided into two main groups, (A) a lake and (B) an ancient lake. An ancient lake possess a life history of over one million years, while the age of a ‘normal’ lake is mainly less than 100,000 years. This is the time needed before it is fully filled with sediments. Lakes in Indonesia are morpho-genetically classified as:

  1. A tectonic lake Lakes Matano; Paniai
  2. A volcano-tectonic lake Lakes Toba; Maninjau
  3. Caldera lake and endorheic lakes Lakes Bratan; Buyan; Batur
  4. Collapse or steam explosion of volcanoes Lakes Tolire; Ranu
  5. Flood plain & oxbow Lakes Semayang; Melintang
  6. Fault, and dissolved origin lakes Lakes Singkarak; Ranau
  7. Lakes of dissolved origin Lakes Kei Kecil; Gigi& Gita
  8. Estuary lakes Lakes Aiduna; Segaraanakan
  9. Lakes due to environmental disasters Bandung purba; Tondano
  10. Reservoir lakes & tasik, situ, embung, ranu Saguling; Situgintung
  11. Residual mining and collapse lakes Erstzberg, Kolong di Belitung,
  12. Mixtures of the above origins Lakes Limboto; Rawapening

1. PENDAHULUAN

Danau adalah badan air yang sangat penting, bagian dari ekosistem penyangga keber­lanjutan yang menopang kehidupan. Danau adalah sumber air, penopang fungsi bio- diversitas, sumber dan tempat pembentukan protein, pengendali toksisitas di badan air, peredam fluktuasi banjir di sungai, sumber yang mengisi airtanah, pengendali iklim, sarana transportasi dan olah raga dan wisata, serta yang tidak kalah penting adalah posisinya yang sentral dalam tradisi, budaya, dan religi.

Peran dan fungsi danau dalam abad terakhir ini mulai memperlihatkan pergeseran, dari semula sebagai satuan eksositem yang fungsional, dalam beberapa dekade terakhir semakin lekat terutama untuk pemenuhan berbagai kebutuhan manusia. Pertambahan penduduk, kenaikan kebutuhan lahan pemukiman dan pertanian serta industri, sumber energi yang dikategorikan sebagai sumber terbarukan, telah mendesak peran danau dari pengendali ekosistem menjadi unit eksositem yang semakin mengalami eksploitasi berat.

Selain perubahan antropogen yang telah timbul akibat sifat eksploitatif yang ber­lebihan dari sebagian penduduk dan terutama para pendatang, dalam beberapa dekade terakhir mulai nyata ancaman dampak perubahan iklim global. Perubahan global yang telah dan sedang terjadi, dicirikan oleh sejumlah ketidakpastian yang perlu ditanggapi dengan bijaksana. Untuk itu perlu disusun rencana baru sebagai gabungan antara keberlanjutan fungsi danau sebagai akibat eksploitasi manusia, juga yang bersifat mitigasi agar fungsi danau sebagai penopang kehidupan dapat terus berlangsung.

2. DANAU, DAS, WS, DAN DEKLARASI DJUANDA

Danau terbentuk oleh berbagai proses atau genesis yang berbeda-beda, ada yang alami dan ada pula yang buatan manusia. Danau buatan manusia dinamakan waduk, reservoar, tasik, situ, embung, grati, kolam, dan beberapa nama lokal lainnya. Dalam skala umur geologi, sebuah danau alami biasanya berumur tidak lebih dari 100.000 tahun. Pada jangka waktu itu, biasanya proses sedimentasi dari daerah sekelilingnya maupun dari hulu sungai telah mengisi danau sehingga mendangkal mula-mula menjadi lahan basah lalu kemudian kering sama sekali. Ini adalah danau alami yang ‘normal’. Namun ada pula danau yang berumur sangat tua, usianya lebih dari satu juta tahun, dan oleh karena itu dinamai danau purba atau ancient lake. Contoh danau purba di Indonesia adalah Danau Matano di Sulawesi, Danau Paniai di Papua, dan Danau Toba di Sumatera, yang umur ketiganya diperkirakan 2 juta tahun bahkan lebih.

Pada umumnya, ada aliran sungai ke danau dan keluar dari danau. Namun ada danau yang hanya memiliki aliran air sungai yang masuk ke danau tetapi tidak memiliki sungai yang mengalirkan air keluar ke laut. Danau jenis ini terlihat di Danau Batur serta Bratan, Buyan, Tamblingan di Bali. Danau jenis ini terbentuk pada sebuah kaldera dan dinamakan danau terkungkung atau enclosed lake. Selain itu ada pula jenis danau yang lain, kolom air danaunya sangat dalam bahkan dasar danau berada 200 meter di bawah permukaan laut atau cryptodepression lake. Danau jenis ini dijumpai di Danau Matano di Sulawesi. Ada pula danau yang meski letaknya berdampingan, bahkan namanya memiliki kemiripan, tetapi arah aliran airnya berbeda. Di Sumatera dijumpai Danau Diatas dan Danau Dibawah, yang letaknya bertetangga dan terletak di ketinggian Bukit Barisan. Tetapi, Danau Diatas adalah hulu dari Sungai Indragiri yang mula-mula mengalirkan airnya ke Danau Singakarak lalu terus ke timur ke Provinsi Riau. Sedangkan Danau Dibawah yang letaknya berdekatan adalah hulu dari Sungai Batanghari yang mengalirkan airnya ke Provinsi Jambi.

Pengelolaan khusus sebuah danau di Indonesia belum memiliki sejarah panjang dibanding dengan pengelolaan sungai. Masih sering sebuah danau diposisikan sebagai sumber air besar yang tidak ada batas habisnya. Oleh karena itu maka hingga satu dekade lalu, definisi danau di sebuah departemen tertentu dinyatakan hanya sebagai bagian dari sebuah sungai yang bentuknya melebar dan mendalam. Namun kini telah disepakati bahwa danau adalah badan air alami yang dikelilingi oleh daratan dan oleh karena itu perlu penanganan yang khusus. Penanganan khusus berarti bukan hanya menangani kualitas dan kuantitas air di badan air danau itu saja, tetapi sekaligus juga menangani daratan sekelililingnya (atau DAS) sebagai satu kesatuan pengelolaan yang utuh.

Waduk atau reservoar dibedakan dari danau karena sejarah kejadian atau pem­bentukannya yang berbeda. Waduk dibuat sebagai tempat menampung dan menyimpan air sungai pada saat air berlebih di musim hujan lalu melepaskannya secara teratur sepanjang tahun. Pembangkit tenaga hidro, pengendalian banjir, fungsi irigasi untuk persawahan, serta wisata dan sarana olahraga air terklait erat dengan pembangunan sebuah waduk. Tidak lama kemudian, secara perlahan fungsi waduk mendapat tambahan untuk kegiatan ekonomi berupa perikanan dalam karamba, dan akhir-akhir ini juga untuk penyediaan air minum perkotaan.

Pengelolaan air di danau dan waduk kini tidak lagi terbatas hanya pada ekosistem atau DAS di sekeliling dan sebelah hilir waduk itu saja. Kini telah disadari perlunya penggabungan dengan beberapa DAS sekelilingnya, membentuk sebuah unit pengelolaan baru yang dinamai Wilayah Sungai atau WS. Sebuah WS menggabungan kepentingan penduduk di beberapa DAS yang berdampingtan, dengan melakukan aliran air lintas DAS atau transboundary water transfer. Daerah yang lebih kaya air berbagi dengan tetangganya yang kekurangan air. Sebagai contoh, kebutuhan air kota Jakarta tidak dapat tersedia hanya dari air DAS Ciliwung dan 12 DAS kecil lainnya yang mengalir melalui wilayah Jakarta. Oleh karena itu perlu ada tambahan pengaliran air dari mata air dari Bogor di selatan, dari Sungai Citarum (Waduk Jatiluhur) di sebelah timur, dan dari Sungai Cisadane di sebelah barat. Air untuk irigasi dari saluran Jatiluhur bahkan dialirkan hingga jauh ke timur menembus DAS Citarum hingga ke Pamanukan dan dataran pantai di utara Subang. Contoh lain adalah daerah industri di Cilegon yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dari sumber di daerahnya sendiri, sehingga perlu mengalirkan tambahan air dari DAS Situ Cidanau yang terletak di selatannya. Pulau Lombok bagian selatan yang kekurangan air mendapat suplesi aliran air dari Lombok Barat dan Timur yang memilik lebih banyak air. Inilah beberapa contoh yang menjadi landasan membentuk unit WS sebagai satuan pengelololaan sumber daya air.

Berbagi air diantara penduduk dapat untuk kebutuhan irigasi, pembangkit listrik, pertanian, dan terutama untuk air minum. Ada rasa keadilan apabila sungai yang punya cukup air, tidak hanya memenuhi keperluan penduduk di DAS itu sendiri serta di hilirnya saja, tetapi juga mau berbagi dengan DAS tetangganya. Air sungai yang dibendung dan membangkitkan tenaga listrik, listrik dapat dialirkan ke berbagai daerah bahkan hingga jauh keluar wilayah DAS sungai itu sendiri. Secara tidak sadar oleh sebagian orang tetapi ada pula yang sangat menyadarinya, inilah pengayaan konsep Deklarasi Djuanda yang dimaklumkan pada tahun 1957.

Dalam deklarasi Djuanda dipermaklumkan kepada seluruh dunia bahwa air laut bukan pemisah antar pulau di wilayah Nusantara, tetapi adalah laut yang menyatukan, adalah pemersatu bangsa. Tersirat dari konsep ini adalah, laut bukan saja menyatukan seluruh kepulauan Indonesia menjadi Nusantara, tetapi juga punya makna bagi air yang berada di daratan pulau. Beberapa wadah air yang berbasis DAS itu menjadi satu Nusantara yang berbasiskan WS, yaitu gabungan beberapa DAS yang bersatu menjadi WS atau wilayah sungai. DAS yang berkelibihan air berbagi dengan DAS tetangganya yang kekurangan, suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Deklarasi Djuanda bukan hanya mempersatukan wilayah Nusantara, deklarasi ini juga telah mempersatukan seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama menikmati kekayaan air yang ada.

3. FUNGSI DANAU DAN PERUBAHAN IKLIM

Meski disepakati bahwa danau adalah badan air besar yang dikelilingi daratan, namun danau juga memiliki berbagai sejarah perkembangannya sendiri-sendiri, Oleh karena sejarah kejadiannya berbeda-beda maka diperkirakan bahwa perilaku atau sifat antara satu danau dengan danau lainnya dapat berbeda. Perlu disepakati pula bahwa mengelola danau tidak dapat hanya dan dibatasi oleh badan air danau saja, sebab ada interaksi yang sangat dinamis antara air danau dan eksositem sekelilingnya, termasuk manusianya. Oleh karena itu maka rencana pengelolaan danau perlu diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh antara danau dan DAS atau WS sekelilingnya.

Telah diuraikan terdahulu bahwa umur sebuah danau pada umumnya kurang dari 100.000 tahun. Dalam skala 100.000 tahun itu diperkirakan telah terjadi beberapa kali perubahan iklim global yang berlangsung secara alami. Danau yang lebih tua umurnya, dikelaskan sebagi danau pruba atau ancient lake. Jejak dari perubahan iklim ini dapat diteliti dengan analisis pada stratigrafi kolom sedimen danau, sebuah kegiatan yang dinamai paleo-limnology. Data hasil kajian paleo-limnologi dapat dipakai menjadi acuan dalam menetapkan langkah-langkah mitigasi bencana sebagai akibat perubahan iklim di abad 21 ini.

Perubahan iklim global yang akan dihadapi selain bertambah atau berkurangnya hujan di suatu daerah, kenaikan suhu udara, dapat pula terkait dengan perubahan pola musim, pola angin, kelembaban udara, dan penyinaran matahari. Mungkin terjadi pergeseran jenis tanaman akibat perubahan suhu udara, tanaman yang biasa tumbuh di ketinggian menengah umpama teh sekitar 500 m dpl mungkin akan bergeser dan lebih baik tumbuh pada elevasi yang lebih besar. Fauna sebagai habitat yang terkait juga akan menyesuaikan diri dan melakukan pergeseran.

Perubahan suhu udara dan perubahan pola iklim dapat mempengaruhi ekosistem terutama eksositem endemik yang terdapat di sejumlah danau. Daerah yang merupakan hot-spot biodiversity baik yang terrestrial maupun akuatik perlu mendapat perhatian khusus sebab menyangkut punahnya spesies endemik tertentu. Punahnya spesies endemik adalah indikasi awal akan terjadi perubahan ekosistem yang lebih nyata untuk spesies lainnya. Oleh karena itu disarankan agar penyusunan rencana mitigasi dampak perubahan iklim selain yang bersifat umum, juga yang spesifik khususnya untuk danau dengan kandungan fauna endemik yang tinggi.

4. KLASIFIKASI MORFOGENESIS DANAU

Pada awal tulisan ini telah diuraikan bahwa danau terbentuk dengan sejarah geologi yang spesifik. Waduk dan reservoar dibangun pada sungai strategis yang memenuhi kriteria untuk pemenuhan kebutuhan air dan tenaga dan pengendalian bencana di DAS itu maupun di DAS tetangganya, sebuah kesatuan yang dinamai wilayah sungai (WS) di daerah bersangkutan. Sebuah waduk mempunyai umur produktif 100 hingga 150 tahun meski dalam kenyataan di akhir abad 20 semakin banyak terlihat bahwa umur waduk dan reservoar dapat jauh lebih pendek. Umur embung dapat lebih pendek tetapi umur situ yang terdapat di daerah Jabotabek telah mendekati satu abad.

Antara satu danau dengan danau lainnya ada perilaku atau sifat yang berbeda. Hal ini terutama sahih untuk wilayah Indonesia yang sejarah geologi pembentukannya juga sangat kompleks. Perbedaan sifat itu perlu diketahui sejak awal penyusunan rencana agar dapat menghindari kajian yang tumpang tindih atau sebaliknya juga terabaikannya perencanaan sejumlah topik tertentu akibat masih kurangnya informasi tentang danau itu dan eksositem DAS sekelilingnya.

Untuk keperluan perencanaan, diusulkan klasifikasi danau berdasar genesisnya, yang dinamai kalsifikasi morphogenesis danau Indonesia. Usulan klasifikasi danau ini bukan untuk membagi-bagi danau di Indonesia, tetapi terlebih untuk mempermudah tim yang bertugas menyusun rencana pengelolaan danau di Indonesia yang jumlahnya di­perkirakan lebih dari 500 danau besar, berarti perlu ada 500 rencana pengelolaan. Ada 12 kelas morfogenesis danau sebagai berikut:

  1. Danau tektonik Danau Matano; Paniai
  2. Danau volcano-tektonik Danau Toba; Maninjau
  3. Danau kaldera dan endorheik Danau Bratan; Buyan; Batur
  4. Danau amblesan di lereng gunung api aktif Danau Tolire; Ranu
  5. Danau paparan dan oxbow Danau Semayang; Melintang
  6. Danau sesar dan bencana alam Danau Singkarak; Ranau
  7. Danau akibat pelarutan Danau Kei Kecil; Gigi& Gita
  8. Danau estuari Danau Aiduna; Segaraanakan
  9. Danau akibat bencana alam Bandung purba; Tondano
  10. Reservoar, waduk, tasik, situ, embung Waduk Saguling; Situgintung
  11. Danau sisa tambang dan galian Erstzberg, Kolong di Belitung,
  12. Danau akibat campuran proses di atas Danau Limboto; Rawapening

Masing-masing danau dalam kelas morfogenesis di atas memilik sifat sendiri-sendiri yang apabila diketahui sejak awal dapat mengurangi beban penyusunan rencana pengelolaan danau. Danau tektonik (1) memiliki sifat bentang alam yang lebih curam, demikian pula dinding tepi dalam danau. Sesar dan pelipatan yang kuat dapat juga mencirikan DAS sekeliling danau yang biasanya terbentuk oleh batuan dengan umur geologi yang tua. Pola aliran sungai mengikut jejak sesar dan kekar akibat proses tektonik pembentukan daerah itu. Biasanya berada pada jalur tektonik aktif dan sekitar zona sesar regional, terdapat antara lain di Danau Paniai di Papua (160 km2 max. depth 44 m) dan Danau Matano di Sulawesi (164 km2 max. depth 588 m). Sifat air danau oligotrofik yang berarti jernioh dengan kandungan nutrien yang rendah.

Danau volkano-tektonik (2) terbentuk akibat gabungan proses tektonik dan volkanis. Contoh klasik adalah di Danau Toba (luas 1129 km2 dan max. depth 505 m) dan Danau Maninjau (99,5 km2 max. depth 164 m) di Sumatera. Asal usul Danau Toba di­perkirakan dari mega-letusan yang pertama terjadi pada 1,9 juta tahun lalu yang melemparkan abu volkanik dalam jumlah besar ke daerah luas sekelilingnya bahkan ditemui di Malaysia dan di Srilangka yang tidak memiliki gunung api (Hehanussa, 1982). Letusan ini menghasilkan rongga kosong di perut bumi yang kemudian ambles sehingga membentuk danau. Rangkaian letusan selanjutnya terjadi pada 1,2 kemudian 0,6 lalu 0,1 juta tahun lalu. Pulau Samosir yang tadinya terletak di dasar danau tersembul ke permukaan air danau membentuk morfologi punggung kura-kura (Yokoyama dan Hehanussa, 1981). Danau Maninjau belum terpetakan secara rinci urut-urutan letusan, tetapi memperlihatkan batuan di sekeliling danau yang mirip dengan Danau Toba. Perhitungan neraca air menghasilkan rembesan air tanah ke dalam Danau Maninjau berasal dari luar DAS danau ini (Fakhrudin, 2003). Peristiwa ledakan gas CO2 di Danau Nyos di Camerun, Afrika pada tahun 1984 dan 1986 perlu menjadi peringatan dalam menyusun rencana pengelolaan sebuah danau kaldera. Gas karbon-dioksida yang terkonsentrasi di kolom Danau Nyos yang dalam airnya 200 m itu mulai meletus pada jam 20.30 tanggal 21 Agustus 1986 dan berlangsung hingga esok harinya jam 10.00 pagi. Sebanyak 1700 orang dan semua hewan di sekeliling danau ini tewas, namun harta benda dan pepohonan tetap berdiri utuh (Sabroux, 1995). Oleh para penyelamat digambarkan peristiwa ini mirip ledakan bom neutron yang membunuh manusia tetapi rumah, mesin, kendaraan, dan sarana tetap utuh.

Danau kaldera dan endorheic (3) adalah kelas danau yang unik dan di Indonesia, pembentukannya terkait erat dengan keberadaan gunung api ekplosif. Contoh klasik adalah Danau Batur di Bali yang terbentuk pada kaldera muda di lereng Gunung api aktif Batur, tanpa ada aliran air keluar dari badan air danau. Daya hantar listrik (DHL) air danau memperlihatkan nilai yang cukup tinggi, sekitar beberapa miliSiemens, yang berarti mengandung zat terlarut dalam jumlah yang cukup tinggi. Sifat yang sebaliknya terdapat pula tridanau di kaldera tua Danau Bratan (4,21 km2 max. depth is 20,8 m), Buyan (5,16 km2 max. depth 62,8 m), dan Tamblingan (1,41 km2 max. depth 35,5 m) di Bali Tengah. Air di ketiga danau ini memperlihatkan nilai DHL yang hanya sekitar 80 mikroSiemens yang berarti masih memperlihatkan jejak sifat air hujan dan hanya sedikit kandungan zat terlarut. Ini berarti bahwa meski tridanau ini adalah danau terkungkung tetapi dari danau ada aliran aktif ke air tanah ke sekeliling kompleks kaldera ini yang menyediakan air bagi mataair-mataair yang terdapat di sekeliling kaldera tua ini.

Danau amblesan (4) yang terdapat pada lereng gunung api aktif adalah contoh danau yang unik. Danau jenis ini biasanya terdapat pada lereng atau kaki gunung api aktif, berbentuk bulat, memiliki dinding terjal demikian pula tebing dalam danau. Contoh klasik adalah Danau Tolire (0,5o LU dan 127,4o BT) di kaki Gunung Gamalama di Pulau Ternate. Pulau yang seluruhnya terbentuk oleh badan gunung api ini memperli­hatkan danau tanpa ada aliran sungai yang masuk maupun keluar dari danau. Tepi barat danau pada lereng dari arah puncak Gunung Gamalama berada pada elevasi 123 m asl sedang tepi timur pada sekitar 50 m di atas laut. Dari lokasi terakhir ini, tinggi tebing kaldera danau 26 m dan kedalaman danau diperkirakan sekitar 30 m (37 depa dalam ukuran petugas penjaga danau). Ini berarti bahwa dasar danau berada sedikit lebih dalam daripada permukaan air laut. Danau dengan warna air hijau ini diperkirakan ada masukan dan keluaran air yang dikondalikan oleh air tanah daerah sekelilingnya. Di dekat Bangil di Jawa Timur diketahui ada danau Ranu yang memiliki sifat yang sama.

Danau paparan sungai dan oxbow (5) mempunyai arti penting sebagai habitat fauna endenik, sumber protein, dan air baku di sebuah daerah. Danau jenis ini terbentuk di sekeliling alur aliran sungai besar, yang dalam klasifikasi geologi dinyatakan sebagai sungai yang dewasa. Sungai bentukan alam mempunyai kemampuan untuk menata alirannya agar laju sedimentasi dan erosi antara musim hujan dan kemarau berlangsung minimal. Oleh karena itu sungai ini secara alami membentuk kelok-kelok atau meander yang meminimalkan kedua proses alam tersebut. Pada tepian sungai itu dapat terbentuk danau paparan sungai, sebagai contoh adalah Danau Semayang dan Melintang di Pulau Kalimantan. Ekosistem di paparan sungai ini kaya sebagai hasil dari perubahan ketinggian air antara musim kemarau dan hujan, sehingga tidak mengherankan bahwa jenis danau ini adalah sumber protein perikanan yang penting. Kerajaan Kutei telah lama akrab dengan ekosistem ini, dan Raja mempunyai wewenang untuk membuat ‘sumur palsu’ yang adalah perangkap ikan besar yang terbawa pada saat banjir dua tahunan. Dapat pula terjadi bahwa kelok-kelok sungai itu pada proses pendewasaan selanjutnya, terputus dan sisa atau bekas putusannya sungai itu menjadi danau oxbow. Contoh oxbow ini adalah danau di sekitar kota Jambi yang adalah sumber protein perikanan darat yang penting. Bahasa setempat yang juga sering menjelaskan bentang alam ini adalah lubuk. Batuan pembentuk dasar danau jenis ini umumnya berupa lempung dan sedikit pasir halus yang relatif lunak. Air danau meso hingga eutrofik.

Danau sesar (6) dan bencana alam biasanya terbentuk pada daerah dengan tektonik aktif. Contoh klasik adalah Danau Singkarak (130 km2 max. dalam 268 m) yang ter­letak sebelah barat kota Padang di Sumatera. Danau jenis ini dikelilingi oleh morfologi yang cukup curam dan batuan sekelilingnya yang umumnya berumur tua dalam skala geologi. Karena letaknya di ketinggian Bukit Barisan, curah hujan cukup tinggi dan pertanian berkembang baik. Tepi danau terbentuk oleh bongkahan batuan berukuran besar dengan air yang oligotrofik. Fauna ikan endemik terdapat di danau ini. Danau akibat gabungan bencana alam dan sesar juga terbentuk di jalur pegunungan aktif. Di Danau Ranau di Sumatera bagian selatan yang terletak tidak jauh dari jalur Sesar Sumatera pembentukannya diperkirakan terkait dengan aliran bahan volkanik yang menutupi lembah sehingga membentuk danau.

Danau amblesan (7) yang terbentuk pada lapisan batugamping, terutama yang berumur muda, biasanya berbentuk membulat sebagai akibat emblesan akibat pelarutan batuan alasnya. Tingkat keasaman air danau jenis ini cukup tinggi, di Pulau Kei Kecil di Maluku Tengah mencapai nilai pH 8,5 hingga 9,5. Air ini kurang memenuhi syarat untuk air minum, sehingga oleh penduduk desa di bawah danau ini, membiarkan bocoran aliran air merembes melalui humus di hutan sekelilingnya sehingga pH air turun hingga batas yang diperkenankan. Sumber air danau amblesan hanyalah dari air hujan, sehingga tingkat eksploitasinya juga harus dijaga agar tidak melampaui batas daya dukung lingkungan.

Danau estuari (8) terbentuk di dataran pantai yang dialiri oleh sungai dengan sumber sedimen klastik yang tinggi dan arus sepanjang pantai (long shore current) yang kuat. Angkutan sedimen dari sungai terkumpul di muara lalu terangkut mengikuti bentuk garis pantai. Proses ini mengakibatkan pembentukan danau estuari, yang pada umumnya berukuran tidak terlalu besar. Sebuah danau estuari dijumpai di sekitar Cilacap di Segara Anakan, dan di pantai Pulau Nusalaut di Maluku. Contoh lainnya yang terlihat dari pesawat terbang dan berada di sebelah selatan Pulau Papua adalah di Aiduna. Kualitas air di jenis danau ini berubah bersama musim, tawar saat musim hujan dan menjadi payau di musim kemarau. Besarnya kisaran pasang surut berpengaruh kepada kualitas air danau jenis estuari. Sedlain danau estuari juga ada dam estuari yang antara lain terdapat di Kute Bali, Batam, dan di Singapur. Pengendalian kualitas air dam estuari selain ditentukan oleh posisi sumbu dam terhadap kisaran pasang-surut, juga sangat dipengaruhi oleh tata guna lahan di hulu sungai. Estuari dam di Batam kurang berhasil sebab pengelolaan di daerah hulu yang kurang baik.

Danau akibat bencana alam (9) yang klasik adalah Danau Bandung Purba (25 x 30 km) . Danau purba ini terletak di cekungan sebelah selatan Gunung Burangrang dan Tangkubanprahu pada kala sekitar 65 hingga 35.000 tahun lalu. Danau terbentuk oleh letusan gunung Burangrang yang menumpahkan sejumlah besar aliran lahar yang menutupi alur sungai Citarum purba. Lokasi sungai purba itu terlihat di jalan Cipularang sekitar 6 km sebelum pintu tol Padalarang dari arah Jakarta. Pada tebing jalan yang di tahun-tahun lalu sering longsor itu terlihat sedimen klastik kasar dari sungai Citarum purba. Endapan lahar itu menutupi cekungan tersebut sehingga membentuk Danau Bandung. Tepian danau itu menjadi lokasi pemukiman manusia purba yang membuat senjatanya dari batuan obsidian yang bekas-bekas pabriknya dijumpai di daerah Bukit Dago. Danau ini kemudian mengering sebab terjadi pelarutan batugamping yang membentuk gua SangHiang Tikoro dan kini menjadi lokasi generator pembangkit tenaga listrik dari air Waduk Saguling.

Reservoar, waduk, tasik, situ, embung (10) adalah badan air berukuran besar buatan manusia. Reservoar atau waduk terbentuk sebelah hulu dari sebuah bendungan. Setelah hilangnya Danau Bandung Purba, bendungan Saguling kembali mengendalikan aliran air yang memiliki kemiripan dengan danau purba pendahulunya. Di hilir waduk Saguling dijumpai Cirata dan Jatiluhur yang secara kumulatif adalah pembangkitan tenaga listrik yang penting, sehingga sungai ini dinyatakan sebagai sungai strategis. Ketiga danau ini semula direncanakan untuk pembangkitan tenaga listrik, irigasi, dan pengendalian banjir. Tetapi dalam dua dekade terakhir secara perlahan tetapi jelas telah berubah menjadi sumber protein ikan dan untuk penyediaan air baku Kota Jakarta. Situ yang banyak terdapat di daerah Jabotabek adalah pengendali air permukaan yang yang dibuat sekitar tahun 1930-an. Waduk berukuran kecil ini menampung air sungai dan rembesan air tanah untuk dimanfaatkan pada musim kemarau.n Fungsinya telah banyak berubah memenuhi kebutuhan lahan di kota besar seperti Jakarta dan Depok.

Danau sisa tambang dan galian (11) adalah danau buatan yang kehadirannya tidak boleh diabaikan. Sisa tambang baik untuk batubara di Kalimantan timur, emas dan perak di ketinggian pegunungan Papua, belum cukup mendapat perhatian luas dan pe­nanganan khusus, apakah sisa toksisitas akan berpengaruh kepada ekosistem. Kolong bekas galian timah di Bangka Beliting serta kolam bekas galian pasir di dataran pantai Tangerang perlu mendapat perhatian khusus terkait pemanfaatan airnya maupun bencana yang mungkin terjadi akibat pengelolaan yang diabaikan.

Terakhir adalah golongan (12) yang merupakan danau dengan morfogenesis akibat proses gabungan dua atau lebih diantara ke-11 klasifikasi yang disebut terdahulu. Danau Limboto di Gorontalo dan Rawa Pening di Jawa Tengah diperkirakan terbentuk oleh gabungan proses beberapa penyebab atau genesis.

5. PERENCANAAN PENGELOLAAN DANAU

Perencanaa pengelolaan danau sebagaimana telah dikemukakan terdahulu perlu didasarkan kepada sifat-sifat danau di Indonesia yang unik oleh karena sejarah geologi pembentukan yang juga beraneka macam. Sejarah geologi makro itu ditandai oleh persesaran, pergeseran, tumbukan, dan penggabungan beberapa lempeng benua (tectonic plates) baik yang besar maupun yang kecil. Peristiwa geologi ini meninggalkan jejaknya (morphological signature) yang cukup jelas pada pembentukan danau terutama untuk kelas morfogenesis (1); (2); (3); (4); (6); (9); dan (12).

Selain sejarah pergerakan lempeng, hal lain yang juga ikut mempengaruhi adalah perubahan paras laut (global sea level changes) yang terlah berulang kali terjadi selama sejarah geologi, khususnya selama era Kuarter atau 2,5 juta tahun lalu. Paparan Sunda dan Paparan Sahul adalah bekas daratan di dasar laut yang pernah menjadi jembatan darat antara Asia dengan Sumatera+Kalimantan+Jawa dan yang kedua adalah antara Benua Australia+Papua+kepulauanAru+Biak bahkan mungkin juga dengan Pulau Halmahera. Komposisi fauna dan flora endemis terkait erat dengan sejarah geologi yang pernah dialami daerah itu. Kelas danau yang mungkin merekam sisa jejak perubahan iklim ini adalah (1); (5); (7); (9); dan (11).

Posisi pada daerah tropis dan pertemuan arus dunia menjadikan kekayaan bio­diversitas Indonesia masuk kedalam kriteria hot-spot biodiversity dunia, sehingga pe­rencanaan pengelolaan itu harus spesifik. Keterkaitan biodiversitas akuatik dan terres­trial di danau dan sekitarnya tidak berdiri sendiri tetapi memperlihatkan jejak sisa se­jarah geologi dari masa lalu. Kelas danau yang mungkin merekam jejak ini adalah (3); (5); (8); dan (12)

Perubahan iklim telah dialami secara berulang kali di masa geologi lalu. Perbedaan dengan perubahan iklim yang dihadapi sekarang, ialah laju atau kecepatan perubahan sekarang berlangsung dalam skala waktu yang lebih pendek atau berlangsung jauh lebih cepat. Di masa lalu orde satu kali perubahan itu adalah ratusan ribu tahun namun kini berlangsung hanya dalam beberapa bahkan hanya satu dekade saja. Oleh karena itu maka studi pelo-limnologi di danau-danau perlu dikembangkan agar peren­canaan masa depan danau dapat dilakukan berdasar kajian ilmiah rekaman peristiwa di masa lalu. Kelas danau yang mungkin merekam dampak perubahan ini adalah (5); (7); (9); dan (12).

6. CATATAN PENUTUP

Perencanaan pengelolaan danau di Indonesia perlu dilakukan berdasar kondisi Nusan­tara yang unik, tidak dapat dilakukan hanya dengan meng-copy model dan pengalaman di negara lain. Negara lain yang dimaksud adalah yang wilayah daratannya kontinental (bukan kepulauan) maupun yang sejarah geologi pembentukannya berbeda (Indonesia berada pada posisi tumbukan aktif antar lempeng benua / tectonic plates).

Mengelola danau dimulai dengan menyusun rencana pengelolaan untuk badan air danau dan DAS sekelilingnya dalam satu kesatuan. Model pengelolaan danau di berbagai negara lain yang hanya berbasis badan air saja, baik kualitas maupun kuantitas air, akan menghadapi kendala besar di Indonesia oleh karena beberapa perbedaan mendasar yaitu curah hujan, penyinaran matahari, biodiversitas, dan pertumbuhan penduduknya sangat tinggi.

Keragaman geo-fisika-kimia-budaya danau-danau di Indonesia sangat tinggi, perbedaan antara satu danau dengan danau lainnya cukup besar. Oleh karena itu pe­rencanaan pengeloaan yang hanya didasarkan kepada satu model umum (apalagi bila hanya berdasar kondisi di negara lain) akan menhadapi kemungkinan gagal yang lebih tinggi.

Studi paleo-limnologi yang saat ini belum banyak ditekuni di Indonesia, akan bermanfaat sebagai salah satu alat (tool kit) dalam merencanakan mitigasi terhadap perubahan iklim global. Korelasi antara perubahan iklim global yang akan dihadapi dengan jejak masa lalu (past climate changes signatures) dapat dipakai untuk menyusun rencana mitigasi kemudian adaptasi yang lebih baik.

Aspek tradisi-budaya-religi sering masih diabaikan padahal dengan mempelajarinya dan adaptasi kedalam rencana pengelolaan memiliki kekuatan yang ampuh untuk lebih meningkatkan kemungkinan keberhasilan pengelolaan danau.

DAFTAR PUSTAKA

Fakhrudin, M., 2003, Kajian Ekohidrologi Sebagai Dasar untuk Pengelolaan Danau Maninjau, Prosiding Seminar Nasional Univ. Gajah Mada, hl.191-209, Yogyakarta.

Hehanussa, P.E., 1982, Toba Tephra, Internal Report 16/LGPN/1982, National Institute of Geology and Mining, 22 p., Bandung

Hehanussa, Peter E., dan Gadis Sri Haryani, 1995, Preliminary Investigation of Hazardous Lakes in Indonesia, Proceedings on the Meeting of Investigation of Crater Lakes in Indonesia, UNESCO, Jakarta

Yokoyama, T. and P.E Hehanussa, 1981, The Age of Older Toba Tuffs and Some Problems on the Geohystory of Lake Toba, Sumatera, Paleo Limnology of Lake Biwa, Japan Pleistocene, pp. 177 – 185, Kyoto Japan

Sabroux, J.C., 1995, To Control the Menace of the Killer Lakes of Cameroon, Proceedings of the Investigation of Crater Lakes in Indonesia, pp. 29 – 76, UNESCO Jakarta

One Comment on “Peter E.Hehanussa dan Gadis Sri Haryani”


Leave a comment