Verrianto Madjowa (1)

Jeritan Danau Limboto, Pijar Emas di Panua

Verrianto Madjowa, Majalah Pancaroba, Musim Tanam 1995

Sumber:  http://www.mail-archive.com/gorontalomaju2020@yahoogroups.com/msg04565.html

Antara 16-31 Agusus ’95 Verrianto Madjowa mengunjungi Gorontalo dan sekitarnya. Inilah sebagian oleh-oleh untuk pembaca Pancaroba.

Kondisi Danau Limboto, ibarat buah simalakama, ditelah ibu yang mati tak ditelan bapak yang menjadi korban. Sebagai daerah penghubung antara Manado, Sulawesi Utara dan Palu, Sulawesi Tengah, Gorontalo cukup strategis dalam perdagangan dan kegiatan yang menunjang kehidupan. Paling tidak, daerah penghasil kerajinan kerawang ini memiliki potensi yang dapat digarap penduduk dan usaha lainnya.

Namun, potensi sumberdaya alam seperti hasil hutan, tanah yang subur untuk bercocok tanam, bahan galian tambang emas, jenis ikan karang dan ikan laut lepas (di Teluk Tomini dan laut Sulawesi) seperti tak lagi menjanjikan harapan. Ini bukan lantaran penduduknya tak mampu menggarap potensi yang tersedia. Melainkan sebagian sumberdaya tersebut telah diperuntukkan bagi peningkatan usaha (ekonomi) yang tak terkendali (tanpa kontrol lingkungan untuk masa depan).

Bukan hanya penduduk yang berjumlah 721.255 jiwa (pada tahun 1992) mendapat tekanan, satwa endemik Sulawesi yang dilindungi undang-undang juga mengalami nasib yang sama. Fauna yang kehidupannya tergolong langka: Buulu tutu (anoa, Bubalus depessiconis), babi hutan, babi rusa (Babyrousa babyrussa), dihe (monyet Sulawesi, Macaca hecky), mimito (Tarsius spp), panua (burung maleo, Macrocephalon maleo) kini mulai terusik di habitatnya.

Danau Limboto dan DAS Bone Bolango

Tak dapat dipungkiri, Danau Limboto yang berada di jantung Gorontalo (Kabupaten dan Kotamadya Gorontalo) dan DAS Bone Bolango merupakan tulang punggung utama kehidupan 65 persen penduduk Gorontalo. “Kondisi sosial ekonomi daerah ini tergolong penduduk pra sejahtera, sedangkan keluarga sejahtera III kurang dari 5 persen dari seluruh penduduk yang mayoritas mempunyai sumber penghidupan dari bertani. Di mana 43 desa tertinggal yang berada dalam satu wilayah sungai Limboto Bone,” kata Imam Nooriman, Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gorontalo.

Desa-desa yang sangat tergantung dari keberadaan Danau Limboto dan DAS Bone-Bolango ini sedang mengalami bencana banjir berkepanjangan. Hujan yang mengguyur daerah Gorontalo  – yang sepatutnya sangat disyukuri – untuk mengairi sawah dan ladang, malah memberi peta.
Banjir!

Selama sebulan (akhir Juli sampai awal September) sawah, ladang dan pemukiman penduduk di sekitar danau digenangi air. Bersamaan dengan itu, Sungai Bone yang berhulu di Suwawa memuntahkan buih yang mengakibatkan sebagian Kotamadya Gorontalo mengalami musibah tergenang air. Kelurahan Ipilo, Tamalate, Padebuolo, kampung Bugis dan Tenda selama Agustus dua kali terkena banjir.

Hujam terus mengguyur Gorontalo. Suplai air dari sungai ke Danau Limboto tak terbendung lagi. Air danau meluap. Muntahannya mengairi daerah sekitar dana, terus ke DAS Bone Bolango. Kelurahan Lekobalo, Limba, Biawao, Siendeng dan Biawu lagi-lagi digenangi air. Desa-desa di sekitar danau juga mengalami hal serupa. Padahal, biasanya pada bulan Juli dan Agustus di daerah Gorontalo jarang terjadi hujan karena memasuki musim pancaroba.

Apa penyebab banjir dan meluapnya Danau Limboto? Jawaban klasik yang sering didengar adalah erosi, sedimentasi, penebangan pohon, perladangan berpindah. Bagaimana dengan pendangkalan danau itu sendiri? Memang Danau Limboto sekarang mengalami krisis pendangkalan yang paling dramatis. Sampai tahun 1993, kedalaman danau rata-rata tinggal 1,8 meter dengan luas 3.022,5 hektare. Padahal, tahun 1934 kedalamannya 14 meter dengan luas 7.000 hektare (lihat tabel).

Menurut Whitten, dkk (1987) dalam buku Ekologi Sulawesi, Danau Limboto mengalami penurunan hasil lima kali lebih rendah dengan terjadinya pendangkalan. Tidak cukup tersedia data untuk dapat menyatakan dengan sedikit kepastian saja bahwa hal itu karena proses pendangkalan atau sebagai akibat penangkapan ikan yang berlebihan.

Sude Nasaru, salah seorang penduduk yang bermukim di sekitar Danau Limboto mengatakan, “Sudah lima tahun terakhir ini, kami sudah terbatas menangkap ikan. Apalagi, kalau musim kemarau, tiap kali ke danau untung-untungan bisa mendapatkan sampai sepuluh ekor.” Sekarang pun ikan yang ada, hanya dari karamba. Dulu, jenis ikan yang melimpah di tempat ini antara lain, ikan gabus, ikan jawa (mujair), huluu, tola, otili (belut), ikan seribu, mangga bai, ketang (kepiting) dan dumbaya.

Danau Limboto yang termasuk tipe danau genangan ini ditumbuhi makrofita atau tumbuhan air yang besar. Antara lain yang tenggelam dari suku Hydrocharitaceae jenis Hidrila verticillata. Tumbuhan ini tenggelam di dasar danau. Tumbuhan air besar yang terapung dari jenis Salvinia auriculata. Beberapa jenis tumbuhan ini dan jenis lainnya secara langsung atau tidak juga mempercepat proses pendangkalan. Meski pun berfungsi sebagai substrat untuk mikroorganisme, dan merupakan sumber makanan dan lindungan bagi ikan-ikan, namun laju pertumbuhannya sangat cepat.

Karena itu, pihak pemerintah daerah awal 1995 pernah mengadakan pembersihan dengan mengangkat gulma tersebut dari habitatnya. Namun, karena akarnya tidak terangkat hanya dalam waktu beberapa minggu tumbuhan tersebut kembali menjamur dan hidup di sekitar danau.

Imam Nooriman mengemukakan Pemda Gorontalo telah berketetapan bahwa perlunya melestarikan Danau Limboto. Hal ini dengan alasan, sebagai sumber air baku, lokasi perikanan darat yang mendukung mata pencaharian penduduk, serta Danau Limboto menyimpan potensi pariwisata dan cagar budaya daerah. Untuk itu, Pemda memandang perlu mengusahakan pelestarian danau, dari segi manajemen dengan penataan, penguasaan dan penataan lingkungan, yang mengacu pada master plan yang dilaksanakan soleh suatu lembaga yang memadai.

Danau yang diinginkan tetap lestari ini akan ditempuh dengan langkah pelestarian sumber-sumber mata air, pembuatan dam pengendali dan kantong mata air, pembuatan ring belt dan green belt, serta pengerukan danau. Apabila bangunan pengendali banjir dapat direalisir pada daerah hulu, berupa waduk, yang akan dimanfaatkan juga sebagai cadangan air pada musim kemarau, serta bangunan pengendali sedimen, penataan daerah hilir, sekitar muara sungai, terutama bagi Kotamadya Gorontalo.

Emas di Panua

Cagar Alam Panua di Gorontalo (sekitar 520 kilo meter dari Manado ibukota Provinsi Sulut) memang tidak sepopuler Cagar Alam Tangkoko Batuangus di Bitung. Namun, potensi sumberdaya alamnya tidak kalah menarik. Nama ”Panua” diambil untuk cagar alam ini karena di lokasi tersebut memang banyak terdapat burung maleo. Dalam bahasa lokal setempat (Gorontalo) panua berarti burung maleo (Macrocephalon maleo).

Sedangkan potensi emas di Marisa sudah lama diketahui oleh penduduk setempat. Awalnya, dalam mencari emas hanya dilakukan dengan cara yang sederhana, yakni pendulangan langsung dari sungai. Butiran-butiran pasir yang mengalir di Sungai Taluduyunu, misalnya mengandung emas.

Waktu pun terus belalu. Lahan pertanian masih dapat digarap sebagaimana mestinya, namun terdesak unuk mencukupi kebutuhan. Sementara hasil pertanian tidak seperti yang diharapkan. Maka berbondong-bondong penduduk setempat mencari lokasi tambang emas. Gunung Pani, Gunung Baginite, Gunung Ilota Kiri dan Gunung Ilota Kanan di Kecamatan Marisa dan Gunung Langge (Nangka) di Kecamatan Paguat kini tengah ramai dengan usaha pertambangan emas.

Menurut Kepala seksi KSDA Gorontalo Syamsi Antula, lokasi pertambangan masuk kawasan Cagar Alam Panua. Ini melalui SK Menhut nomor 252 Kpts-II/1984. Pada 1990 Menteri Kehutanan mengeluarkan keputusannya lagi bernomor 171 Kpts-II/1990, sebagai kawasan suaka margasatwa dengan fungsi cagar alam. “Sebagaimana fungsi kawasan di dalam lokasi cagar alam tentunya tidak diperbolehkan melakukan pemanfaatan. Namun dalam praktek di lapangan kawasan cagar alam ini menjadi lokasi pertambangan emas,” katanya.

Potensi emas di Panua tak hanya mengundang penduduk Gorontalo mencari keberuntungan. Tapi, penduduk dari Tasikmalaya (Jawa Barat), Kalimantan Timur, Ujungpandang (Sulawesi Selatan), Toli-toli (Sulawesi Tengah), Minahasa dan Bolaang Mongondow (Sulut), juga mencari keberuntungan di sana.

Sekitar seribu lebih penduduk luar Marisa yang ikut menambang emas. Sampai pertengahan tahun (1995) ini  kegiatan tambang emas di Marisa telah meminta korban 25 orang. Mereka ini terkena longsoran tanah dan batu-batuan saat melakukan kegiatan tambang. Jumlah 25 orang yang meninggal di lokasi ini adalah mereka yang tercatat (melapor) sebelum berkegiatan kepada KUD Dharma Tani,” kata Fredi Adam, mahasiswa jurusan Antropologi FISIP Universitas Sam Ratulangi Manado. Sedangkan yang tidak melapor cukup banyak yang menjadi korban. Mereka yang tidak mendaftar bias disebut “kabilasa”.

Tahun 1994 memang merupakan peralihan mata pencaharian dari bertani ke pertambangan emas. Selain melakukan penambangan, ada juga yang bedagang makanan, rokok, sepau, baju dan lainnya. Lokasi yang dulunya hanya ditumbuhi pepohonan ini seperti sebuah perkampungan besar.

Bagi yang berkegiatan di lokasi tambang, pihak KUD Dharma Tani mengeluarkan kartu berwarna kuning sebagai anggota tetap dengan pungutan Rp 100 ribu. Selain itu, setiap bulan pekerja membayar bebas Rp 10 ribu. Demikian halnya dengan penjaja makanan, rokok dan pekijang. ”Pekijang” merupakan istilah bagi mereka yang membawa stok batu yang mengandung emas atau bahan makanan lainnya ke lokasi pertambangan.

Bahaya Merkuri

Ingat kasus Minamata Jepang? Selama enam tahun kalangan kedokteran di negara itu dibikin pusing gara-gara penyakit yang menimpa penduduk Minamata. Sejak tahun 1953 ditemukan gejala keracunan berat pada syaraf penduduk di Teluk Minamata. Penyakit yang epidemik di daerah itu baru diketahui penyebabnya pada 1959, yakni karena penduduk mengonsumsi ikan yang telah tercemar merkuri.

Menurut pakar dalam bidang kelautan, mekanisme pembentukan senyawa metil merkuri dalam tubuh ikan, antara lain karena akumulasi langsung senyawa metil merkuri dari air yang dihasilkan oleh aktivitas mikro organisme. Pembentukan senyawa metil merkuri ini berasal dari senyawa organik merkuri dalam jaringan tubuh ikan. Selanjutnya, pembentukan metil merkuri oleh bakteri yang terdapat dalam kotoran ikan diabsorbsi tubuh ikan, selanjutnya diabsorbsi langsung senyawa metil merkuri dalam makanan.

Senyawa raksa yang terdapat dalam tubuh ikan secara perlahan-lahan atau cepat akan ditranslokasikan ke tubuh manusia melalui pemanfaatan ikan-ikan laut sebagai bahan makanan. Merkuri dalam logam berat ini memiliki daya racun (toksisitas) yang tinggi. Apabila penggunaan air raksa ini tidak dikendalikan, baik hasil buangan dan pekerja itu sendiri, akan membawa dampak negatif bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.

Pekerja di Marisa ini umumnya sering mengabaikan bahaya yang secara tidak langsung terhadap dirinya. Terkadang dalam melakukan pekerjaan, sama sekali tidak menggunakan penutup hidung. Secara langsung para pekerja telah menghirup kadar merkuri yang menguap ke udara sekitar. Sisa pemakaian merkuri ini selanjutnya dibuang ke aliran air yang ada dan mengalir ke sungai.

Buangan limbah merkuri ke perairan sungai ini tidak hanya akan berdampak bagi kehidupan di dalam air, melainkan juga pada manusia. Karena, dalam perjalanan air raksa yang telah menyatu dengan aliran sungai ini akan terus ke pantai (laut).

Menurut Ir Sulwan Loi yang melakukan penelitian Distribusi Merkuri di sekitar Perairan Marisa Kabupaten Gorontalo, pada 1994 lalu, ditemukan kandungan merkuri yang terdapat di perairan Marisa berkisar antara 0,394 ppm – 1,043 ppm. Ini, sudah melewati batas maksimum yang ditetapkan untuk keperluan perikanan dan kegiatan budidaya lainnya. Untuk kegiatan peternakan dan perikanan yang diperbolehkan adalah 0,002 ppm.

Kebanyakan penduduk (petani) di Gorontalo memang dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Ibarat buah simalakama, kehidupan penduduk di Gorontalo sekarang ini sedang mengalami krisis kehidupan. Tidak mengerjakan sawah dan ladang di sekitar Danau Limboto, akan kemana lagi mencari lokasi garapan. Bila bercocok tanam di sekitar Danau Limboto, bahaya banjir mengancam. Sementara sebagian petani di Paguyaman akan tetap mempertahankan tanahnya berarti dianggap “tidak membantu program pembangunan.” Penduduk pencari rotan pun was-was dan harus berjuang jangan sampai akan ketahuan petugas. Di Marisa dan Paguat, sebagian lahan garapannya juga mengalami fakor ketidaksuburan. Bahaya erosi akibat penebangan pohon di hutan, dan kemarau berkepanjangan yang menghadang masih menjdi rutinitas dalam menjalani hidup. Kini, mereka memilih untuk melakukan penebangan, ketimbang bertani di lahan yang kritis.

Kemilau pijar emas yang menjadi daya tarik penambang, bukan hanya menjanjikan keuntungan. Sejalan dengan kegiatan tersebut, bahaya lingkungan juga mengancam. Ketidakefesienan pemakaian merkuri, tak hanya mengancam diri pekerja, juga lingkungan sekitarnya, terutama ikan-ikan di sungai dan laut, yang nantinya akan dikonsumsi penduduk setempat.

Sementara satwa endemik Sulawesi, seperti babirusa, anoa, monyet sulawesi, burung maleo juga menghadapi risiko dua arah. Baik dalam cagar alam yang dimaksudkan   sebagai “rumahnya” juga di luar kawasan yang menjadi hutan produksi untuk HPH. Kemana kaki mereka akan melangkah?

Leave a comment